Jumat, 12 Desember 2014

Karemia #6

Karemia, apa kabar?
Maaf waktu itu aku tiba-tiba menghilang. Aku nggak bermaksud untuk pergi saat itu. Aku hanya... aku mungkin sedikit kecewa kamu ngehindarin aku.
Maaf aku nggak pernah ngasih kabar. Ada urusan yang harus aku kerjakan. Saat masalahku selesai, kamu yang menghilang. Aku coba hubungin Aldy tapi dia juga nggak ada kabar.
Aku nggak bisa cerita panjang lebar, Aldy lagi melototin aku sekarang hehe
Aku cuma mau kasih kabar, aku akan menikah sebulan lagi. Pernikahan ini bukan keinginan aku. Kamu taulah, perjodohan bisnis.
Aku perlu kamu tau, bahwa yang terjadi atara kita selama ini nyata, Mi. Dan aku ingin mewujudkan semua itu. Perasaan aku ke kamu nggak pernah berubah. Aku perlu kepastian kamu. Kamu datang, yang terjadi berikutnya adalah kita, bukan kami.
Kalau kamu datang sebelum pernikahan dimulai, aku mungkin, tidak, pernihakan itu tidak akan terjadi. Aku sangat, sangat berharap kamu datang.
Mia memejamkan matanya lalu bersender pada sofa. Ya, mungkin Aldy benar. Mungkin ini memang yang terbaik. Kalaupun mereka jodoh, mereka pasti akan bertemu meskipun Aldy tidak memberikan surat ini.

Mia membuka matanya lalu melipat surat tersebut dan tersadar bahwa dibalik kertas itu masih ada tulisan tangan seseorang.

Mi, maaf aku nggak bisa datang di pemakaman tante Lily dan menemani kamu. Aku baru tau sebulan setelah pemakaman. Aku turut berduka cita. Aku tau kamu akan merasa sangat kehilangan, tapi aku yakin kamu pasti bisa melewati itu semua. Aku sayang kamu, Karemia.
Mia mengerutkan keningnya. "Aaal!" Teriak Mia memanggil nama Aldy.

"Apaan? Nggak usah pake teriak bisa kan? Kuping gue masih normal." Kata Aldy yang sedang memegang handuk, hendak mandi.

"Lo nyorat-nyoret surat Adri ya? Kemaren gue gak liat ada tulisan ini." Tanya Mia ketus.

"Nyorat-nyoret apaan?" Mia menunjukkan tulisan di belakang surat Adri. "Ooh itu, itu sih emang dari kemaren ada tulisannya, lo nggak nyadar emang?"

Mia menggeleng, tapi tatapannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. 

"Kenapa? Lo mau ngambek lagi sama gue karena setahun yang lalu itu dia bilang sayang lo?" Tanya Adri sinis dengan menekankan kalimat satu tahun yang lalu.

"Bukan, bukan." Bantah Mia. "Ini pemakaman Tante Lily siapa, Al?"

Aldy menarik kertas yang berada dalam genggaman Mia. "Mi, jangan bercanda."

"Bercanda apaan sih? Gue emang keliatan kaya tampang lagi bercanda?"

"Gak lucu, serius deh, Mi." Nada bicara Aldy sudah mulai berubah.

"Gak mungkin kan Mama gue sendiri meninggal dan gue gak tau? Mama tuh hilang Al, hilang! Pergi ninggalin gue. Mungkin dia udah sama keluarga barunya sekarang, mungkin sekarang gue udah punya adik tiri." Jelas Mia sambil terkekeh dengan nada frustasi.

"Mia, sumpah ini sama sekali gak lucu!" Bentak Aldy.

Mia mengguncang-guncangkan badan Aldy, lalu teriak. "Liat gue! Gue. Serius. Ada apa sih, Al? Mama ada kan? Mama masih hidup kan? Iya kan Al? Mama mungkin ninggalin gue. Tapi mama ngga mungkin meninggal, Al." Air mata Mia mulai turun membasahi pipinya. Aldy langsung memeluk Mia saat itu juga, tapi ditepisnya. Mia mengambil handpone lalu terdiam sambil mendengar nada sambung.

Terdengar suara pria di ujung telepon. Mia berbicara sebentar lalu terdiam mendengarkan selama beberapa menit. Tak lama Mia memutuskan sambungan telepon lalu berteriak, "orang gila!" lalu melempar teleponnya ke seberang ruangan dan menangis sejadi-jadinya.

Rabu, 12 November 2014

Karemia #5

"Mau nginep sekalian disini?" Tanya Fino. Nadanya biasa saja sebenarnya, tapi berhubung emosi Mia yang memang sedang tidak stabil, pertanyaan barusan Mia artikan sebagai sindiran.

"Kenapa? Gue udah kelamaan neduh di rumah lo, ya?"

"Lo tau bukan itu maksud gue. Gausah terlalu berlebihan deh menghadapi masalah, semuanya tuh ada maksudnya. Aldy ngelakuin itu ke lo bukan tanpa alasan."

Mia memutar bola matanya, "Lo tau apa perbedaan antara lo dan Tama? Lo tuh galak, kerjaannya marahin gue, nyindir-nyindir gue. Tama ga pernah gitu."

"Oh jelas. Ga mungkin dia galak-galak sama lo. Nanti incerannya malah kabur. Lo belum tau aja dia gimana aslinya." Fino mengatakannya dengan sangat santai. Dan langsung dibalas dengan tatapan tajam Mia.

Fino mendekatkan wajahnya kearah Mia, "Apa? Gue mengatakan yang sebenarnya. Gue kenal dia udah dari dalam kandungan. Kami itu sangat, sangat, sangat mirip. Dia bahkan mungkin lebih parah dari gue. Belum tau aja." Kata Fino sambil tersenyum lebar.

"Kalian ngapain liat-liatan gitu deket banget? Wah parah lo Fin, nikung sodara sendiri? Gue tau lo udah putus sama Meri, tapi jangan Mia juga, dong." 

"Lo putus? Kapan?" Tanya Mia kaget.

"Tadi pagi, Mi. Ga seru banget ya putus pagi-pagi?" Jawab Tama lugas. "Fin, meskipun muka kita sama, Mia gak bakal mau sama lo. Dia maunya sama gue. Iya kan?" Tama mencoba merangkul tapi langsung ditepis oleh Mia.

"Bentar dulu, lo putus? Kok bisa? Gara-gara masalah kemaren?" Mia bertanya dengan nada sangat penasaran.

Hubungan Fino dan Meri sebenarnya memang sudah lama tidak akur lagi. Mia tidak tahu pasti apa masalahnya, Fino belum cerita secara lengkap. Tapi masalah terakhir mereka, Mia ikut terlibat. Saat itu, teman baik Fino dari kecil mengunjunginya di Malang. Mereka menghabiskan waktu bersama seharian, dan Mia bersama Ruben juga ikut. Fino dan Ina, nama teman kecilnya, bersikap seperti  mereka adalah sepasang kekasih. Mereka selalu bersikap seperti itu dari dulu. Meskipun masing-masing dari mereka sudah punya pasangan. Dan bagi orang yang tidak tahu, melihat mereka jalan berempat seperti sedang double date. Padahal apa yang terjadi diantara Fino dan Ina adalah murni persahabatan. Yang membuat semuanya rumit, Fino hari itu tidak memberi kabar Meri sama sekali. Fino lupa, saking lamanya tidak bertemu dengan Ina. Parahnya, mereka bertemu Meri di sebuat tempat wisata. Meri yang tidak tahu menahu tentang Ina, marah besar dan menganggap Mia ikut bersekongkol dengan Fino untuk menyembunyikan ini dari dirinya.

"Udahlah, masalah itu nanti aja diomonginnya. Jadi gimana, lo mau nginep?" Tanya Fino.

Mia nenggeleng, "Gak tau. Gue gak pengen ngerepotin kalian dengan hal kaya gini, apalagi kalau sampai harus nginep. Tapi, gue masih males ketemu Aldy. Gue gak ngerti kenapa dia tega ngelakuin itu ke gue. Dia tau banget gimana perasaan gue ke Adri, dia tau gimana gue saat tiba-tiba dia ngilang, gimana saat.." Mia menghentikan ucapannya, menggeleng perlahan lalu melanjutkan, "dia harusnya ngasih surat itu ke gue. Gak seharusnya dia nyembunyiin itu dari gue, selama satu tahun!" Jelas Mia dengan meninggi. 

"Terus apa? Kalau Aldy emang ngasih surat itu ke lo, lo mau nyamperin Ardy? Batalin pernikahannya supaya dia bisa balik sama lo, gitu?" Tanya Fino sinis.

"Ya nggak gitu juga, sih." Balas Mia pelan.

"Gak gitu gimana? Lo mengatakan maksud lo dengan jelas tadi."

Mia memejamkan matanya lalu bersender pada sofa, dia teringat salah satu kalimat dari surat Adri.

Kalau kamu akhirnya memutuskan untuk datang sebelum pernikahan, aku mungkin akan mempertimbangkan lagi keputusanku untuk menikah saat itu.
"Kalau gue tau sih gak mau ya, punya cewek ya masih belum bisa ngelepasin masa lalunya. Dan bukan aja belum bisa lepas, tapi ini masih berharap! Gue gak kebayang mantan lo dulu. Dia sadar gak ya kalau hati lo sebenernya bukan milik dia selama itu?" Nada bicara Tama terlihat santai, tapi kalimatnya barusan terdengar seperti tamparan bagi Mia. Mukanya yang biasanya terlihat iseng, kali ini terlihat sangat serius.

"Pantes aja ya, lo biasa aja waktu putus sama siapa tuh namanya? Rian? Eh, Ruben ya?"

"Jadi udah nyadar kan? Tau bakal jadi apa kalau Aldy ngasih surat itu ke lo? Kalau gue jadi Aldy, gue juga bakal nyimpen rapat-rapat itu surat. Tapi mungkin, gue cuma akan menyimpan suratnya selama seminggu aja. Jadi lo gak perlu berharap selama ini, nyia-nyiain orang yang bener-bener perduli sama lo." Jelas Fino, "jadi lo masih berharap sama orang ini Karemia?" Lanjutnya.

"Nggak." Jawab Mia cepat. "Tapi gak secepat itu juga gue bisa ngilangin Adri dari kepala gue, Fin."

"Itulah gunanya gue di sini, Mi." Kata Tama dengan cengirannya. Sikapnya sudah kembali biasa lagi.
Mia hanya tertawa tapi tidak menanggapi kata-kata Tama, "gue mau pulang. Biar Aldy aja yang jemput. Eh, HP gue mana ya?" Mia meraih tasnya tapi tidak menemukan HPnya disitu. Di sofa juga tidak terlihat.

Tiba-tiba Mia memekik kaget. Ada yang memeluknya dari belakang!

"Jadi udah gak marah sama gue?" Mia berbalik lalu disambut dengan cengiran Aldy. Mia tertawa, menggeleng, lalu memeluk Aldy.

"Fin, balikin HP gue, Fin."

Senin, 10 November 2014

Mimpi

"Heh, kenapa bengong gitu?" Sebuah suara mengagetkan Anna dari keterpanaannya.
"As? Loh? Kok bisa?"
"Ngomong apaan, sih?" Dias mengarahkan pandangan ke sekelilingnya, "Mana bis kita?.....Oh."
"Kok oh aja, hubungin siapa gitu. Aku gak bawa apapun."
"Aku cuma bawa ini." Dias menunjukkan passport dan dompetnya. "Ah iya, yuk." Anna tersenyum, mungkin tertinggal bis bisa jadi hal yang menyenangkan.

"Selamat datang di Tembok Berlin, An."
"Aku lupa kamu pernah tinggal disini. Keren, As."
"Aku sahabat yang baik kan? Aku akan ajak kamu keliling Berlin."
"Jadi tour guide yang baik buat aku hari ini, ya." Anna tersenyum miris, sahabat.

"An."
"Hmm?"
"Aku tiba-tiba keinget Vya. Dia masih di sini gak, ya?"
Pandangan Anna cepat beralih dari tembok di depannya ke muka Dias. "Mana aku tau. Kenapa gak kamu coba cari aja mumpung kamu lagi di sini." Jawab Anna ketus. Setelah 3 tahun mereka dekat, nama Vya hanya terucap beberapa kali dari mulut Dias. Vya, perempuan pertamanya.

"Kok jadi ketus gitu? Kamu cemburu?" Dias menggodanya.
Setelah sekian lama perasaan ini dia simpan, masihkah Dias tidak sadar juga?

"An, Vya itu hanya masa lalu. Untuk masa depan, aku berharap bisa ada kita."
"Apa?" Mia memandang Dias dengan perasaan tidak mengerti, dadanya berdebar.
"Kamu butuh kejelasan. Aku sudah mengatakannya tadi. Dan sebenarnya kita tidak ditinggal bis. Aku hanya ingin menciptakan momen." Dias menjelaskan tanpa bisa menyembunyikan cengirannya.

Tiba-tiba tembok di depan Anna runtuh dan menimpanya.

***

"Kamu kok bisa jatuh dari tempat tidur gitu?" Muka Dias muncul dari tempat tidur.
"Aku mimpi kita muda lagi, As."

Senin, 27 Oktober 2014

Night Story

Awalnya, gue berfikir, kenapa harus kenal. Kenapa harus jadi teman. Kenapa harus jadi dekat. Kalau akhirnya jadi seperti ini. Rasanya lebih baik seperti dulu.

Banyangkan, untuk beberapa waktu (lebih dari hitungan bulan), memperhatikan seseorang yang sejak pertama kali melihatnya sudah menyita perhatian. Benar-benar pertama kali melihat. Sampai beberapa waktu itu, yang bisa dilakukan ya hanya memperhatikan, tidak lebih. Bisa berpapasan saja, senangnya luar biasa. Pertama kali bertukar kata, meskipun hanya minta sedikit bantuan, jangan tanya gimana rasanya.

Lalu akhirnya ada satu kesempatan, yang menjadikan harus bersama karena suatu keadaan. Awalnya biasa, tidak ada percakapan. Basa basi orang baru kenal. Setelah beberapa waktu, terjadi percakapan awal yang merubah segalanya. Membawa mimpi jadi kenyataan. Eh, belum. Belum kenyataan.

Saat masih mengamati diam-diam dulu, yang diharapkan hanya: kenal, jadi teman, bisa ngobrol. Saat itu terjadi, taulah seperti apa. Lalu keadaan menjadi, entah bagaimana terasa lebih dari itu. Mungkin hanya gue yang merasa ya.

Lalu munculah harapan baru itu. Saat harapan itu muncul, harapan yang terlalu kuat sebenarnya, semua menjadi berjalan tidak seperti yang diharapkan.

Semuanya seperti berhenti dan tidak ada lagi kata-kata yang melebihi apa yang seorang teman katakan. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menunjukan sikap perhatian.

Kali ini, tidak lagi berani berharap. Cukup sekali saja masa-masa itu terjadi. Berharap sesuatu yang tidak pasti. Apapun yang dilakukannya, mencoba untuk membiarkan dan tidak memikirkannya. Sulit memang. Sangat sulit malah. Tapi cukup sekali saja gue merasakan hari-hari penuh penantian tidak jelas. Perasaan dan pikiran yang hanya terpusat padanya. Gue mencoba untuk melepaskan. Dan sedikit banyak berhasil. Mudah-mudahan.

Sekarang gue bersyukur dengan apa yang terjadi. Bisa kenal, bisa berteman, bisa dekat, itu sudah lebih dari cukup. Tidak perlu merubah keadaan ini.

Kalaupun memang apa yang pernah terjadi adalah benar, apa yang gue rasakan benar, bukan hanya rasa gue sendiri, dan kalau kita memang seharusnya bersama, mungkin kita akan dipertemukan kembali, dengan kondisi dan waktu yang berbeda. Saat sudah kerja, mungkin. Mungkin.

Selasa, 21 Oktober 2014

Pelajaran

Salah gue dari awal adalah: terlalu terbawa perasaan. Terlalu berharap. Terlalu membayangkan dan mengharapkan hal yang sebenarnya sudah gue tau kemungkinan terjadinya sangat kecil. Tapi ada saat-saat dimana gue benar-benar optimis bahwa semua itu tidak hanya akan menjadi harapan. Ada beberapa momen dimana semuanya tampak begitu jelas. Meskipun hanya terjadi saat momen-momen itu saja. Tidak saat waktu lain.

Menyesal? Tidak. Karena dengan apa yang telah terjadi, mengingatkan gue untuk tidak menaruh harapan terlalu tinggi pada seseorang. Untuk tidak terlalu terbawa perasaan akan hal-hal yang sebenarnya biasa aja. Tidak ada yang spesial. Spesial mungkin, tapi bukan dalam arti itu.

Tapi bagaimanapun, terimakasih karena telah menorehkan kenangan yang indah. Gue sudah bisa merelakan. Tapi ada saat-saat dimana segalanya tampak begitu sulit. Ada pula saat-saat gue merasa, bahwa ya memang inilah yang terbaik. Gue tidak ingin merusak semuanya hanya karena keegoisan gue, karena hal yang sebenarnya gue pun belum yakin betul. Gue tidak ingin kehilangan seseorang hanya karena gue ingin memilikinya.

Nb: gue lagi uts dan hanya karena liat updatean dia di socmed dan menjadi kepo tapi tidak berani menanyakannya langsung, fokus hilang dan akhirnya numpang curhat disini.
Terimakasih.

Selasa, 19 Agustus 2014

Karemia #4

Mia membuka matanya dengan terpaksa saat mendengar ketukan di pintu berubah menjadi gedoran. "Duh, Al kenapa nggak langsung masuk aja, sih." Gerutu Mia sambil berjalan dengan sangat lambat ke arah pintu.

Aldy mengerutkan keningnya, "Lo baru bangun? Asli, lo adalah perempuan terkebo yang pernah gue kenal, Mi. Ini jam sebelas siang dan lo malah nerusin tidur?" Aldy mengguncang-guncangkan badan Mia yang sekarang sedang tiduran di sofa.

"Aaah, Al, gue masih ngantuk." Mia mengucek matanya lalu bersender pada bahu Aldy dan melanjutkan tidurnya.

Aldy meletakkan bungkusan cukup besar pada pangkuan Mia, "Kalau lo nggak melek sekarang juga..."
Belum selesai Aldy bicara, Mia langsung menyela, "Apa, nih?" Mia membuka bungkusan di pangkuannya.

"Cewek macam apa sih lo ini, Mi.. Mi. Sikat gigi belum, cuci muka belum. Mandi apa lagi, ya?" Aldy geleng-geleng kepala lalu masuk ke kamarnya dan ganti baju. "Sweater siapa tuh?" Aldy tau Mia sangat tidak mungkin punya sweater yang cowok banget itu.

Mia melihat badannya dan baru sadar kalau selama tidur masih mengenakan sweaternya Fino di atas satu set baju yang dihadiahkan Marissa karena telah membantunya semalam. "Fino." Jawab Mia singkat. Setelah sampai ke tempatnya Tama, Mia langsung mengganti bajunya. Tapi berhubung bajunya tanpa lengan, Mia tetap menggunakannya sampai dia pulang.

"Siapa tuh? Lo sama dia kemaren? Pulang jam berapa? Dianter sampai rumah? Dia masuk ke dalem?" tanya Aldy beruntut.

"Ya ampun, Al. Papa aja nggak segininya lho kalau nanyain gue." Mia mendengus tapi tak  lama mulai menjawab, "Fino, temen gue. Gue ketemu sama dia kemaren abis pulang dari tempatnya Marissa, terus ketemu Tama deh, pulang jam setengah dua kalau nggak salah. Dianter kok, tapi cuma sampai lobi, dan lo tau gue bukan tipe cewek yang suka masukin cowo ke rumah lewat tengah malem. Lagipula ini rumah lo." jelas Mia panjang tanpa menjelaskan kejadian diturunkan di tengah jalan oleh supir taksi brengsek itu.

"Siapa pula Tama?"

"Adenya Fino. Eh, apaan nih?" Mia membuka bungkusan yang diberikan oleh Aldy tadi, "Buat gue?"

Aldy menatap sinis Mia, "Menurut lo? Pertanyaan gak penting, tau?"

Mia terkekeh sambil membuka paper bag yang ternyata berisi bermacam benda-benda rajut yang dipakai di kepala sampai kaki. Semuanya warna merah. Beanie ini cocok buat dipake pas lagi jalan-jalan di daerah gunung. Earmuff juga bisa laah dipake kalau cuaca lagi benar-benar dingin. Scarfnya juga lucu, walaupun emang terlalu tebel buat dipake di Malang, apalagi Jakarta. Sweater merah dengan pola yang belum pernah Mia lihat sebelumnya yang paling bikin dia jatuh cinta. Sarung tangan bisa Mia pakai saat membawa motor di Malang nanti. Tapi...

"Boot? Lo pikir kapan kira-kira Indonesia bakal bersalju Al, ngasih gue sepatu model gini?" Mia mengangkat sepatu bot merahnya tinggi-tinggi. Bagus memang, menutupi hingga 10cm diatas mata kaki, tapi di bagian atasnya terdapat bulu imitasi, dan beratnya minta ampun. Tipe-tipe bot yang dipakai di atas salju.

"Kalau gak mau, ya gak usah." Aldy mengambil boot itu dari tangan Mia.

Mia mengambil lagi sepatu itu dari tangan Aldy, "Kata siapa gak mau? Mau kok. Yang ini disimpen aja. Dipakenya nanti kalau tur keliling Eropa pas lo udah jadi pilot beneran. Nanti kita pake pesawat pribadi lo, terus tournya pas lagi winter ya?" Mia mulai mengkhayal.

"Tunggu gue jadi presiden dulu baru punya pesawat pribadi. Dan saat itu gue udah punya istri dan anak, jadi nanti gue ngajaknya mereka, bukan lo." Aldy menaik-turunkan alisnya di depan muka Mia. Dan sukses membuat muka Mia berubah jadi cemberut.

Dering ponsel membuat wajah Mia seketika sumringah lagi begitu melihat siapa yang meneleponnya. "Iya, Tam?"

"Ah iya, gue lupa. Jam berapa lo jemput? Aldy boleh ikut gak?" Mia melirik Aldy dan dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.

"Eh gak jadi deh, dia gak pengen ikut katanya. Sejam lagi lo berangkat? Oke-oke, gue mandinya ngebut kok." Mia nyengir dan langsung dilempar bantal sofa oleh Aldy.

"Oh kita gak berangkat bareng Fino? Dari pagi udah ketemu Meri? Rajin banget ya ngapelin pacarnya.." Mia membuat gerakan bibir pada Aldy 'mandi dulu ya' tapi masih tetap melanjutkan percakapannya dengan Tama di telepon.

Sebelum tadi malam, Mia dan Tama memang sudah beberapa kali ketemu, tapi tadi malam adalah obrolan terakrab mereka. Dan setelah diantar pulang, Mia dan Tama bbm-an sampai subuh. Makanya Mia bangun siang banget. 

Selesai mandi Mia, ternyata Aldy ada di dalam kamar Mia. "Lo ngapain di kamar, sih? Kalau pas gue masuk masih pake handuk gimana?" gerutu Mia.

"Gue tau lo selalu keluar dengan pakaian lengkap kalau abis mandi, makanya gue berani masuk. Nih." Aldy memberikan selembar surat yang bentuknya seperti undangan. "Adri nitip buat lo waktu lagi di bandara."

Mia melihat namanya tertera dalam undangan itu, tapi ditulis tangan. Sepertinya itu surat undangan dadakan yang ditujukan ke dirinya. Di depan surat undangan itu tertera nama Adri Mahapatih dan Kamia Lestari. Mia kaget dengan nama perempuan yang tertera, Kamia. Mirip sekali dengan nama Mia, Karemia.

Dengan tangan bergetar dan mata yang sudah berkaca-kaca, Mia membuka plastik yang membungkus surat itu. Di surat undangan diberitahukan bahwa pertunangan akan dilaksanakan hari Minggu, 23 September 2013. Setahun yang lalu?

Mia lalu menemukan surat lain, tulisan tangan Adri di selembar kertas yang disobek paksa. Mia membacanya sambil menangis. Dan kali ini, Aldy tidak melakukan apa-apa.

Jumat, 08 Agustus 2014

Karemia #3

Mia mulai panik berdiri sendirian di pinggir jalan saat jam mulai mendekati angka 12. Taksi yang sudah ditunggunya hampir 1 jam tidak juga lewat.

Dengan baterai hpnya yang nyaris habis, Mia berusaha menghubungi teman-temannya yang tinggal di Jakarta dan berusaha sebisa mungkin agar tidak perlu menghubungi Aldy.

"Na, udah tidur ya?" Tanya Mia pada orang di telepon.

"Belum, Mi, kenapa?"

"Lagi di Jakarta nggak? Gue gatau jalan pulang nih, ga ada taksi." Dalam hati Mia berharap Ana ada di Jakarta dan berbaik hati mau menjemputnya.

"Hah? Jam segini lo dimana? Gue masih di Bali, kan baru pulang minggu depan. Lo coba telepon Fino deh, kayanya dia di Jakarta. Lo lg di daerah mana sih emangnya? Kok bisa ga ada taksi, malem minggu loh ini."

"Gatau, Na. Aduh gue mulai takut nih, mana ada orang aneh-aneh."

"Ah, aneh-aneh gimana? Lo jalan Mi, jangan diem di situ. Duh jangan-jangan itu....."

"Yaah lo jangan nakutin gitu, dong. Aduh mampus gue. Yaudah Na makasih ya, semoga Fino lg di Jakarta, deh."

Sekarang Mia benar-benar panik. Dia jalan dan berusaha untuk tidak menghiraukan orang-orang yang berpakaian terlalu terbuka di malam hari itu. Mia melihat pakaiannya sendiri. Sial, ini sih nggak beda jauh sama orang-orang di situ. Kalau saja Aldy nggak meminta Mia buat menemaninya ke pesta peluncuran butik baru temannya dan menyuruhnya untuk berdandan rapi mengenakan baju pesta milik kak Ella, kakak Aldy, hal ini mungkin tidak terjadi. Yaa ini salah Mia juga sih, tadi saat pesta berlangsung Aldy baru ingat kalau dia ada tugas di tempatnya mengabdi sekarang, jadi harus pergi secepatnya karena Aldy sudah lumayan  telat. Mia yang masih betah, nggak mau diajak pulang. Saat Aldy memberikan kunci mobilnya, Mia juga menolak. Karena kalau Mia yang bawa mobil, terpaksa Aldy naik taksi, dan itu bisa memperparah keterlambatannya. Karena tidak semua supir taksi bisa bermanuver hebat di jalanan sepadat Jakarta. Alhasil Mia pulang naik taksi terburu-buru karena Aldy marah di telepon soalnya Mia belum pulang juga. Jaket yang Mia bawa juga tetinggal di tempat pesta itu.

Setelah nada sambung pertama, panggilan teleponnya langsung terangkat.
"Halo Fin, lagi di Jakarta gak?" Tanya Mia langsung.

"Iya, kenapa Mi?"

Mendengar jawaban Fino, Kia langsung lega luar biasa.
"Gue gabisa pulang Fin, udah nunggu hampir 1 jam, tapi gak ada taksi. Mau jalan tapi gatau jalan pulang, terus kayaknya ini tempat... lo tau lah ya, gue takut Fin."

"Lo ngapain malem-malem gini di jalan? Lo dimana sih?" Di seberang telepon Fino langsung panik dan memutar otaknya kira-kira dimana saja tempat Mia sekarang berada.

"Gatau Fin, gue gatau dimana." Mia berusaha bersikap tenang.

"Terus lo bisa ada di sana gimana?"

"Panjang ceritanya panjang. Tolongin gue Fin, please." Nada Mia benar-benar memohon. Saat ini sudah lumayan banyak mobil yang berhenti di pinggir jalan. Lokasi ini jadi ramai. padahal tidak ada satupun toko yang buka.

"Yaudah gue kesana bentar ya, jangan kemana-mana. Disitu ada tanda apa gitu? Tadi lo kemana?"

"Ke rumah temen sodara gue. Gatau dimanaaaa." Mia sudah mulai frustasi.

"Di perumahan? Lo tau ga nama perumahannya apa? Kalau nggak nama daerahnya deh." Dari telepon Kia mendengar Fino berbicara dengan seseorang.

"Mmmmm, gue lupa." Miamemutar otak, "Oh iya! Nama perumahannya Cemara Permata. Lo tau kan? Plis tau." Mia ingat karena saat berangkat tadi sempat terpesona dengan pintu masuk perumahan itu.

"Lo bisa nyampe tempat lo sekarang pake apa?"

"Taksi."

Fino geram sendiri, "Lo kenapa turun disitu, sih? Berapa menit dari rumah temen sodara lo itu?"
"Gak inget. Fin, berangkat sekarang dong, ya? Ya? Banyak mobil berhenti. Nanti gue dikira salah satu dari mbak-mbak itu, lagi!" Mia bergidik ngeri membayangkannya.

"Ck! Ini mau berangkat. Cuma gue harus mastiin dulu posisi lo. Biar lo nanti gak nunggu lama karna gue salah jalan. Inget-inget, berapa menit?" Dari seberang telepon Fino terdengar seperti sedang adu mulut dengan seseorang.

"Setengah jam-an lah kira-kira." Mia akhirnya memutuskan setelah satu menit berfikir.

"Lo pasang muka sangar ya pokonya sambil nunggu gue. Gue jalan sekarang. Di deket situ ada taman, kan? Jauh-jauh dari taman itu, terus kalau ada yang deketin lo, jangan ditanggepin, jalan aja terus. Jangan percaya siapapun. Jangan ikut siapa-siapa sampe gue dateng, ngerti?"

"Lo kira gue apaan mau masuk mobil orang gitu aja? Iya ngerti-ngerti. Cepet ya, Fin." Mia pun menutup teleponnya sambil menahan keki. Dikira dia segitu bodohnya percaya sama orang-orang disini? Tau, tau. Fino ngomong gitu karena lagi panik juga.  Sekarang Mia hanya bisa berharap kalau Fino bisa sampai secepat angin.

Sekarang orang-orang disitu menatapnya seperti melihat anak baru yang akan merebut mangsa-mangsa mereka. Ada beberapa orang yang berjalan mendekat dan Mia langsung menjauhi mereka sejauh yang ia bisa. Setelah merasa cukup jauh dari tempat ramai dadakan itu, Mia mulai berani untuk berhenti berjalan. Baru berhenti berjalan selama lima menit, ada satu mobil di depannya yang menyalakan sen kiri. Mia seketika panik dan bingung antara memilih untuk berjalan kembali ke tempat "ramai" atau lari melewati mobil itu. Saat bingung berfikir, mobil tersebut sudah berhenti di depannya. Kaget, Mia memilih untuk berjalan ke belakang dan bersiap menyebrang. Pintu supir terbuka, dan orang di dalam mobil berjalan menghampirinya. Dengan jantung yang sangat berdebar Mia menyebrang tanpa lihat ada motor yang melaju kencang ke arahnya. Tepat sebelum motor tersebut menyentuh tubuhnya, motor berhenti dan kaca helm pun dibuka.

"Naik." Fino nenarik halus tangan Mia. "Dia udah gue booked, dari tadi siang. Iya kan, honey?" Mia mengangguk kaku, dan lelaki dari mobil itu secara perlahan sambil mengangkat tangannya. Fino langsung meluncur dengan motor dan Mia di belakangnya.

"Thanks banget, Fin. Tadi nyaris banget." Kata Kia sambil menyenderkan keningnya pada bahu Fino.
Fino memelankan laju motornya lalu berhenti saat keadaan sudah aman. Fino menengok kebelakang membuat Mia harus menegakkan kepalanya kembali. "Lo gila pake baju gitu malem-malem gini? Naik taksi?" Fino membuka sweater yang dipakainya dan memberikannya pada Mia. Dengan senang hati Mia memakainya. "Thanks. Tapi perlu ya lo marah-marah gini?"

"Sori. Tadi lo bener-bener bikin panik, tau?" Fino membantu Mia mengeluarkan sisa-sisa rambutnya dari balik sweater, lalu tertegun. "Lo gemeteran."

"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa." Mia mengibas-ngibaskan tangannya.

"Jalan sekarang?"

Mia hanya mengangguk, tapi Fino bisa melihatnya.

"Gue ambil mobil dulu ya? Nanti lo sakit lagi naik motor malem-malem pake baju begitu."

"Lo lagi sama Meri, ya?" Mia menyebutkan nama pacar Fino.

"Mana mungkin semalem ini, Mi. Sama Tama tadi." Jawab Fino sambil menjalankan motornya.
"Fin, Meri marah gak kalau gue meluk lo sekarang?" Sikap manja Mia mulai muncul.

Sebagai jawaban Fino menarik tangan Mia yang ada di pinggangnya dan mengenggamnya selama perjalanan. Setelah beberapa menit Fino mulai merasa punggungnya basah.

Mia menagis.

Jumat, 25 Juli 2014

Lagu

Beberapa tahun lalu waktu gue nyanyi Perahu Kertas, saat itu gue gak sadar dan gak ada maksud apa-apa. Makanya gue bingung saat lo tanya kapan gue bikin rekaman itu. Tapi gak lama dari situ gue akhirnya sadar. Lirik itu benar dan gue menyampaikannya tulus, untuk lo. Itu maksud pertanyaan lo?

Ku bahagia
Kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada diantara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan ragaku menemukanmu
(Perahu Kertas - Maudy Ayunda)

Lalu suara lo yang dikirim itu, anehnya hilang gak lama saat lo pergi lagi, padahal udah gue simpen.

Kini harus aku lewati
Sepi hariku tanpa dirimu lagi
Biarkan kini ku berdiri
Melawan waktu tuk melupakanmu
Walau pedih hati
Namun aku bertahan
(Akhir Cerita Cinta - Glenn Fredly)

Gue juga nanya pertanyaan yang lo ajukan ke gue. Kapan lo rekam? Beberapa hari lalu. Oke, gue gak berani berharap. Lagipula gue gak ngerti maksud lagunya.

Duh, tulisan gue cheesy banget. Tapi tiba-tiba aja keinget waktu barusan playlist hp gue muterin lagu tadi.

Selasa, 22 Juli 2014

Karemia #2

"Udah selesai? Gitu aja? Ga ada aksi tampar-tamparan dan ngelemparin minuman gitu?" Tanya Aldy sambil merangkul Mia begitu Mia ada di sebelahnya.

"Dan bikin malu diri gue sendiri di depan banyak orang? Nggak deh makasih."

"Lo udah janji ga bakal minum lagi, Mi." Kata Aldy lirih.

Langkah mereka tiba-tiba terhenti, Mia menatap mata Aldy nanar, "Gue gak mau ngambil resiko bakal ilang kontrol di situ, Al. Gue tadi berharap bisa ngeredam emosi gue dengan minuman itu. Dan berhasil kan?" Mia mulai berjalan lagi.

"Gue lebih seneng liat lo mempermalukan Ruben di depan orang-orang, tau? Lo tau gue ada di situ. Dan lo juga tau gue gak bakal ngebiarin lo, atau dia mempermalukan lo, Mi. Gue ga suka liat lo ngerusak diri lagi." Aldy membiarkan Mia masuk ke dalam mobilnya.

"Oh, please, Al. Tadi itu cuma bir. Dan gue cuma minum dua teguk. Gak bakal ada hal buruk yang terjadi akibat itu. Lo tau gue pernah minum yang lebih buruk dari bir." Jelas Mia saat mobil sudah berjalan.

Ya, Aldy tau. Sangat tau. Karena dialah yang memperkenalkan minuman-minuman itu pada Mia. Juga hal-hal buruk lainnya.

Empat tahun lalu, saat Mia naik ke kelas 12 dan Aldy baru saja lulus SMA, kejadian cukup buruk datang menghampiri Mia. Ibunya secara tiba-tiba meninggalkan rumah mereka. Mia yang tidak tau ada masalah apa jelas kebingungan. Ayahnya tidak bisa dan sepertinya juga memang tidak ingin menjelaskan apa-apa. Teman baiknya selama 6 tahun, yang diam-diam Mia cintai, cinta pertamanya, satu-satunya orang yang membuat Mia jatuh cinta, tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba tidak perduli dengan keadaan Mia.

Laki-laki ini, Adri, juga bukannya tidak mencintai Mia. Bukan sekali dua kali Adri menyatakan perasaannya. Tapi selama itu pula Mia memberikan jawaban yang tidak pasti. Bisa dibilang, Mia menggantung Adri. Saat itu Mia belum ingin mempunyai status sebagai pacar Adri. Membingungkan memang. Tapi keadaannya ya seperti itu. Adri dan Mia tidak bersekolah di tempat yang sama. Kota pun berbeda. Mereka dekat sejak keduanya sama-sama di sekolah dasar. Saat SMA, Adri pindah ke Jakarta, sedangkan Mia tetap di Bogor. Dan saat Adri pindah, mereka berkomunikasi lewat telepon, sms, bbm, skype, dan sosial media lainnya. Hapir tiap akhir pekan Ardi mengunjungi Mia. Kadang Adri menjemput Mia lalu mereka ke Jakarta. Selalu seperti itu. Mereka juga sering bertengkar, dan tak jarang mereka bertingkah seperti pasangan kekasih.

Semuanya berakhir saat ibu Mia pergi dari rumah. Ibu yang selalu ada untuknya, yang selalu membimbingnya, hilang. Pertama kali Mia pulang sekolah dan mendapati ibunya tidak ada di rumah, ia kira ibunya sedang pergi sebentar, tapi hingga malam, hingga besok pagi, ibunya tidak pulang. Sejak saat itupun ayahnya jadi jarang pulang. Dalam tiga hari, ayahnya hanya sekali tidur di rumah. Saat Mia meminta penjelasan, besoknya tidak pulang. Baru pulang dua hari kemudian. Hingga akhirnya Mia lelah dan tidak berbicara lagi dengan ayahnya. Mia bolos sekolah selama seminggu untuk menunggu ibunya pulang ke rumah, yang tak pernah pulang.

Semua sms, telepon, chat-chat Adri tidak ada yang Mia hiraukan. Adri menghampiri Mia ke rumah, tidak dibukakan pintu, saat Adri menghampiri Mia di sekolah, Mia menghindar. Saat Mia sadar dia masih memiliki Adri, Adri menghilang.

Saat ibu dan ayah Mia, juga Adri menghilang, Mia bertemu Aldy di sekolah. Sekolah Aldy dulu, sekolah Mia saat itu. Meskipun Aldy dan Mia bersaudara jauh dan hanya berbeda satu tahun, mereka tidak begitu dekat. Bisa dibilang Aldy dan Mia sangatlah berbeda. Dari kecil Aldy sangat bandel. Dan itu berlanjut hingga lulus SMA. Setelah lulus SMA dan belum mendapatkan tempat kuliah, kerjaan Aldy hanya main, main, dan main.

Mia dan Aldy memang ngobrol di sekolah, tapi hanya sebatas itu. Dulu, kadang Aldy main ke rumah Mia. Kadang juga sebaliknya. Saat Mia kebetulan bertemu Aldy di sekolah, dan mereka mengobrol, Mia menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Minus cerita tentang Adri. Sejak itu, Mia hampir selalu ikut dengan Aldy, mulai merokok, ikut balapan liar, minum minuman keras, dan hal-hal lain yang sebelumnya tidak pernah Mia bayangkan. Selama setahun Mia terkepung dalam dunia Aldy. Untung mereka tidak sampai mencoba narkoba. Aldy juga jadi sering menginap di rumah Mia, mencegah hal-hal lebih buruk terjadi pada Mia saat dia sedang tidak bersamanya.

Mia lulus dengan nilai yang sangat tidak memuaskan. Aldy sadar dia telah menjerumuskan saudarinya sendiri ke dalam dunianya. Aldy tidak perduli dirinya rusak, tapi tidak dengan Mia. Dia menyayanginya. Sedangkan Aldy sudah tidak menyayangi dirinya sendiri.

Aldy mulai meninggalkan dunia lamanya, ikut mengajak Mia kembali ke jalan yang benar. Perlahan Mia kembali menjadi dirinya sendiri. Memperbaiki kembali hubungan dengan ayahnya. Beruntung Mia diterima di salah satu perguruan tinggi di Malang, dan Aldy mengejar cita-citanya menjadi pilot. Karena kesibukan masing-masing, lama-lama mereka jadi jarang berkomunikasi, hingga tidak ada komunikasi sama sekali karena Aldy benar-benar tidak bisa dihubungi.

Setelah hampir tiga tahun tak bertemu, beberapa bulan lalu mereka bertemu di rumah kakek nenek mereka. Dan komunikasi mereka pun kembali lancar.

"Gimana kabar Papa, Mi?" Tanya Aldy saat mereka sudah memasuki apartemen Aldy dan memasukkan koper Mia ke kamar.

Aldy sekarang sedang menempuh pendidikan menjadi seorang pilot, dan menyewa apartemen di Jakarta untuk mempermudah dirinya.

"Baik, baik." Kata Mia sambil tiduran di sofa. "Lo kenapa gak ke Sidney aja sih, Al? Jadinya kan gue gausah bolak balik gini." Saat ini Mia sedang liburan kuliah, dan memutuskan untuk liburan bersama ayahya di Sidney. Tapi dia juga tidak ingin melewatkan liburan tanpa Aldy.

"Kalau lo mau beliin tiket pesawatnya sih gue gak keberatan, Mi. Eh, geser-geser." Aldy menggeser paksa Mia yang sedang selonjoran.

"Masa pilot gak bisa beli tiket pesawat? Kan gajinya gede." Mia akhirnya bersender pada Aldy.
"Gue tuh belum jadi pilot. Nanti kalau udah jadi pilot, baru deh." Aldy merangkul Mia dan mengelus rambut Mia.

"Nanti kalau lo udah jadi pilot, ajak gue jalan-jalan, ya? Tapi gratis." Kata Mia sambil terkekeh.

"Iya, tapi nanti kalau gue udah punya pesawat sendiri. Gue ajak lo keliling dunia." Jawab Aldy sok serius.

"Ah, kaya lo bakal punya pesawat sendiri aja sih, Al. Tapi gue doain kok, tenang aja. Asal kalau udah sukses, bagi-bagi ya?" Kata Mia sambil menepuk-nepuk bahu Aldy sok bijak lalu tertawa, Aldy juga.

"Lo ga sedih, Mi? Ga pengen nangis ngeraung-raung gitu? Kan baru putus? Diselingkuhin pula."
Mia menatap mata Aldy dengan mata disipitkan, "Enak aja. Dia tuh yang harusnya nangis karena udah kehilangan gue."

"Gak sedih gitu? Sedikitpun?" Tanya Aldy heran.

"Sedih, sih. Tapi lebih banyak keselnya. Udah ah ga usah bahas itu!" Jawab Mia sambil merengut lalu memejamkan matanya.

"Oke, oke." Aldy mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Udah tidur sana."

Mia tidak menjawab juga tidak bergerak. Aldy akhirnya sadar bahwa Mia sudah tidur dalam pelukannya. Aldy tidak membangunkan Mia untuk memintanya tidur di kamar, dia justru mengelus rambut Mia perlahan dan membuatnya tidur lebih lelap.

Minggu, 20 Juli 2014

Still

Disebut apa keadaan ini? Saat seluruh keberanian benar-benar menguap. Hingga hal-hal paling kecil dan remeh pun terasa membahagiakan dan disyukuri.
Bisa melihat dia dari jauh pun sudah senang. Melihat mobilnya lewat, meskipun cuma sekian detik, juga sudah membahagiakan. Mendengar suaranya, meskipun jauh dan samar, sudah sangat melegakan.
Semuanya sanggup memupus sedikit rasa kangen dan melambungkam sedikit harapan, manakala objek pencarian itu masih sendirian atau bersama banyak orang tapi bisa dipastikan masih sendirian.
Halaman 168-169, Still-EstiKinasih

Babak kedua

Tanpa disadari berhenti di sini. Bab 19. Babak kedua.
Pertanda? Bukan. Ini cuma kebetulan. Tidak mungkin hal seperti ini bisa terjadi di dunia nyata.
Tapi banyak yang bilang, tidak ada yang tidak mungkin. Jadi, boleh sedikit berharap, kan? Sediikit saja.

Sabtu, 19 Juli 2014

Butuh atau ingin?

Selama ini gue sering mikir. Lebih baik diibutuhkan atau diinginkan? Dan sepertinya gue sudah mendapatkan jawaban. Pendapat ini datang dari diri gue, entah orang lain setuju atau nggak.
Dibutuhkan. Apa yang ada di benak kalian tentang kata itu? Dengan dibutuhkannya kita, kita merasa bahwa kita penting, jika tidak ada kita mungkin mereka susah untuk bertahan? Tapi pernahkah terpikirkan, bahwa orang yang membutuhkan kita itu sebenarnya, mungkin tidak menginginkan kita. Ya mereka butuh kita, tapi tidak sepenuhnya menginginkan kita. Bagaimana rasanya kalian ada di sebuah komunitas, mereka tidak suka sebenernya kalian ada di situ, ga ingin kalian ada di situ, tapi karna mereka butuh, ya kalian ada di situ. Menyedihkan? Ya ini cuma pendapat gue aja, sih. Mungkin dibutuhkan itu menyenangkan, entahlah.
Diinginkan. Kalau kita diinginkan oleh seseorang, dengan adanya kita, orang tersebut menjadi lebih baik, baik kita sebenernya dibutuhkan atau tidak oleh orang tersebut, senang? Tapi.. yah selalu ada tapi bukan? Coba bayangkan, dengan diinginkannya kalian, baik kalian dibutuhkan atau tidak, kesannya seperti... memaksa? Hak milik? Yah hal semacam itu.. seperti seorang artis, dia diinginkan oleh semua orang, dan saat sudah memilikinya, lalu apa? Dijadikan pajangan? Orang menginginkan kita untuk ada di sampingnya, untuk apa? Kita bahkan tidak dibutuhkan disitu.
Yaah kalau dilihat lihat ada enak ada nggaknya ya dari setiap pilihan. Yang paling menyenangkan ya diinginkan selaligus dibutuhkan. Tapi ini juga ada dua pilihan, butuh karna ingin atau ingin karna butuh? Karna menurut gue, kalau cuma hanya satu (dibutuhkan/diinginkan), hanya akan membuatnya tambah tidak seimbang. Tapi kadang kita memang tidak bisa memiliki segalanya.. dan kadang kita memang tidak perlu alasan untuk berada di sekitar orang yang kita sayangi.
Dan ini cuma pendapat gue personal ya, belum tentu bener.
Terimakasih ;)

Selasa, 15 Juli 2014

Hai, again

Oh well, hello. Ini mungkin pertama kalinya ada postingan lagi dari blog yang pernah gue bikin. Udah lumayan lama dari postingan terakhir, eh pertama gue. Sebelumnya kepikiran buat bikin blog baru, tapi karena udah lumayan banyak blog gue yang kosong dan isinya cuma postingan pertama aja, gue manfaatkan yang ada sekarang. Setelah tulisan ini, entah akan berlanjut seperti blog blog lainnya atau akan vakum kembali seperti blog blog gue sebelumnya. Seperti yang udah pernah gue sebutkan, nama gue Zulfah. Saat ini gue udah kuliah, di salah satu universitas negeri di kota kelahiran gue, Bogor. 
Oke, sedikit cerita, gue kuliah di jurusan yang sama sekali tak pernah terpikirkan bahwa gue akan menghabiskan masa kuliah disitu, walaupun cuma sedetik -oke ini lebay-. Tapi emang gitu kenyataannya. Gue pernah terpikir buat anak hukum, politik, teknik, jadi seorang akuntan, guru, musisi, penari, bahkan dokter. Tapi jurusan gue ini, ga pernah terpikir sebelumnya. Meskipun ada anggota keluarga gue yang sudah sukses dari bidang ini. Gue ambil jurusan pangan, tepatnya Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan. Jujur saja, dari smp gue udah bertekad buat hengkang dari kota ini saat kuliah nanti, niatan awal gue sih ke Jogjakarta, atau Bandung. Dan saat masa-masa akhir SMA, gue sangat sangat ingin kuliah di Malang. Tapi apa daya, gue tetap berada di kota tercinta ini sampe sekarang. Kalau ditanya apa sebenernya yang gue inginkan, gue ingin jadi seorang jurnalis dan hidup di dunia broadcasting. Gue juga ingin jadi seorang astronom. Dan ingin jadi seorang penulis. Yeah kalau diliat liat sih masih jauh dari seorang penulis ya, buat ngusrus blog sendiri aja ga pernah becus haha. Dan kenapa gue ga pernah kejar mimpi2 gue itu? Percaya deh, gue udah berusaha kok. Ketiga mimpi gue ini udah gue miliki mungkin dari SD, tentunya dengan perubahan2 keinginan dalam perjalanannya. Untuk jurnalis, gue udah mendaftar ke perguruan tinggi2 di indonesia, tapi sayangnya ga pernah satupun keterima. 
Untuk astronom, oke ini emang salah gue. Gue cinta sama luar angkasa, bintang, gimana planet2 tersusun, galaksi2 lain selain bimasakti, meteor, asteroid, dan yang lain tentunya. Sayangnya, untuk astronomi diperlukan pemahaman fisika yang sangat kuat, dan gue bener2 gasuka sama yang namanya fisika sejak SMA. Dan gue nyesel karena gapernah mencoba untuk masuk ke dunia astronom. Gue baru kepikiran sekarang, kalau gue udah cinta sama dunianya, rintangan apapun pasti bakal gue hadepin. Termasuk untuk mencintai fisika. 
Gue mendapatkan mata kuliah fisika di awal kuliah, ya walaupun masih dasar2nya, ternyata nggak seburuk itu kok. Nggak seburuk pikiran pikiran naif gue yang selalu mengatakan, 'Gue gamau masuk astronomi soalnya fisika semua, gue gabisa dan gasuka fisika'. Yaah, andaikan gue mau mencoba.. 
Untuk seorang penulis, jangan tanya udah berapa tulisan yang gue bikin tapi selalu berhenti di tengah atau bahkan awal cerita. Lihat, bahkan blog ini saja baru dibuka lagi setelah berapa lama coba? Yaah intinya sih gue harus selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang gue mau. Karena jujur aja, sampe sekarang ya mimpi gue masih itu. Terus kenapa gue ga kejar mimpi2 gue itu sekarang? Untuk penulis, bisa sambil jalan dan sangat sangat berharap dapat terwujud suatu saat. Untuk jurnalis dan astronom, gimana ceritanya ya.. Gue tadinya ada niat buat ikut tes masuk perguruan tinggi dan berusaha buat mendapatkan apa yang gue mau, tapi ternyata setelah gue menjalani apa yang ada di hadapan gue satu tahun ini, gue cukup menikmatinya. Yah memang saat pelaksanaannya kadang masih gue jalani dengan setengah hati, tapi nggak jarang pula gue berpikir kalau ini emang udah buat gue. Emang udah jalannya disini. Kadang gue seneng saat kuliah sedang berlangsung. Mengetahui betapa banyaknya hal yang belum gue tau sebelumnya dan akhirnya tau. Kadang gue udah bener2 nyerah, ga sanggup lagi dan pengen ngelepas semuanya. Tapi orangtua gue udah berharap banyak dan gue rasanya ga mau ngecewain mereka. Dan yang terpenting kenapa gue gamau ngelepas yang sekarang adalah, gue mempunyai teman2 yang sangat menyenangkan. Gue ga rela untuk melepas mereka semua. Kalaupun gue pindah, gue harus memulai dari awal, mulai pertemanan baru, adaptasi kembali, itu semua bikin gue mikir dua kali sebelum meninggalkan apa yang udah gue pegang.
-Sekian, sampai jumpa lagi-