Rabu, 12 November 2014

Karemia #5

"Mau nginep sekalian disini?" Tanya Fino. Nadanya biasa saja sebenarnya, tapi berhubung emosi Mia yang memang sedang tidak stabil, pertanyaan barusan Mia artikan sebagai sindiran.

"Kenapa? Gue udah kelamaan neduh di rumah lo, ya?"

"Lo tau bukan itu maksud gue. Gausah terlalu berlebihan deh menghadapi masalah, semuanya tuh ada maksudnya. Aldy ngelakuin itu ke lo bukan tanpa alasan."

Mia memutar bola matanya, "Lo tau apa perbedaan antara lo dan Tama? Lo tuh galak, kerjaannya marahin gue, nyindir-nyindir gue. Tama ga pernah gitu."

"Oh jelas. Ga mungkin dia galak-galak sama lo. Nanti incerannya malah kabur. Lo belum tau aja dia gimana aslinya." Fino mengatakannya dengan sangat santai. Dan langsung dibalas dengan tatapan tajam Mia.

Fino mendekatkan wajahnya kearah Mia, "Apa? Gue mengatakan yang sebenarnya. Gue kenal dia udah dari dalam kandungan. Kami itu sangat, sangat, sangat mirip. Dia bahkan mungkin lebih parah dari gue. Belum tau aja." Kata Fino sambil tersenyum lebar.

"Kalian ngapain liat-liatan gitu deket banget? Wah parah lo Fin, nikung sodara sendiri? Gue tau lo udah putus sama Meri, tapi jangan Mia juga, dong." 

"Lo putus? Kapan?" Tanya Mia kaget.

"Tadi pagi, Mi. Ga seru banget ya putus pagi-pagi?" Jawab Tama lugas. "Fin, meskipun muka kita sama, Mia gak bakal mau sama lo. Dia maunya sama gue. Iya kan?" Tama mencoba merangkul tapi langsung ditepis oleh Mia.

"Bentar dulu, lo putus? Kok bisa? Gara-gara masalah kemaren?" Mia bertanya dengan nada sangat penasaran.

Hubungan Fino dan Meri sebenarnya memang sudah lama tidak akur lagi. Mia tidak tahu pasti apa masalahnya, Fino belum cerita secara lengkap. Tapi masalah terakhir mereka, Mia ikut terlibat. Saat itu, teman baik Fino dari kecil mengunjunginya di Malang. Mereka menghabiskan waktu bersama seharian, dan Mia bersama Ruben juga ikut. Fino dan Ina, nama teman kecilnya, bersikap seperti  mereka adalah sepasang kekasih. Mereka selalu bersikap seperti itu dari dulu. Meskipun masing-masing dari mereka sudah punya pasangan. Dan bagi orang yang tidak tahu, melihat mereka jalan berempat seperti sedang double date. Padahal apa yang terjadi diantara Fino dan Ina adalah murni persahabatan. Yang membuat semuanya rumit, Fino hari itu tidak memberi kabar Meri sama sekali. Fino lupa, saking lamanya tidak bertemu dengan Ina. Parahnya, mereka bertemu Meri di sebuat tempat wisata. Meri yang tidak tahu menahu tentang Ina, marah besar dan menganggap Mia ikut bersekongkol dengan Fino untuk menyembunyikan ini dari dirinya.

"Udahlah, masalah itu nanti aja diomonginnya. Jadi gimana, lo mau nginep?" Tanya Fino.

Mia nenggeleng, "Gak tau. Gue gak pengen ngerepotin kalian dengan hal kaya gini, apalagi kalau sampai harus nginep. Tapi, gue masih males ketemu Aldy. Gue gak ngerti kenapa dia tega ngelakuin itu ke gue. Dia tau banget gimana perasaan gue ke Adri, dia tau gimana gue saat tiba-tiba dia ngilang, gimana saat.." Mia menghentikan ucapannya, menggeleng perlahan lalu melanjutkan, "dia harusnya ngasih surat itu ke gue. Gak seharusnya dia nyembunyiin itu dari gue, selama satu tahun!" Jelas Mia dengan meninggi. 

"Terus apa? Kalau Aldy emang ngasih surat itu ke lo, lo mau nyamperin Ardy? Batalin pernikahannya supaya dia bisa balik sama lo, gitu?" Tanya Fino sinis.

"Ya nggak gitu juga, sih." Balas Mia pelan.

"Gak gitu gimana? Lo mengatakan maksud lo dengan jelas tadi."

Mia memejamkan matanya lalu bersender pada sofa, dia teringat salah satu kalimat dari surat Adri.

Kalau kamu akhirnya memutuskan untuk datang sebelum pernikahan, aku mungkin akan mempertimbangkan lagi keputusanku untuk menikah saat itu.
"Kalau gue tau sih gak mau ya, punya cewek ya masih belum bisa ngelepasin masa lalunya. Dan bukan aja belum bisa lepas, tapi ini masih berharap! Gue gak kebayang mantan lo dulu. Dia sadar gak ya kalau hati lo sebenernya bukan milik dia selama itu?" Nada bicara Tama terlihat santai, tapi kalimatnya barusan terdengar seperti tamparan bagi Mia. Mukanya yang biasanya terlihat iseng, kali ini terlihat sangat serius.

"Pantes aja ya, lo biasa aja waktu putus sama siapa tuh namanya? Rian? Eh, Ruben ya?"

"Jadi udah nyadar kan? Tau bakal jadi apa kalau Aldy ngasih surat itu ke lo? Kalau gue jadi Aldy, gue juga bakal nyimpen rapat-rapat itu surat. Tapi mungkin, gue cuma akan menyimpan suratnya selama seminggu aja. Jadi lo gak perlu berharap selama ini, nyia-nyiain orang yang bener-bener perduli sama lo." Jelas Fino, "jadi lo masih berharap sama orang ini Karemia?" Lanjutnya.

"Nggak." Jawab Mia cepat. "Tapi gak secepat itu juga gue bisa ngilangin Adri dari kepala gue, Fin."

"Itulah gunanya gue di sini, Mi." Kata Tama dengan cengirannya. Sikapnya sudah kembali biasa lagi.
Mia hanya tertawa tapi tidak menanggapi kata-kata Tama, "gue mau pulang. Biar Aldy aja yang jemput. Eh, HP gue mana ya?" Mia meraih tasnya tapi tidak menemukan HPnya disitu. Di sofa juga tidak terlihat.

Tiba-tiba Mia memekik kaget. Ada yang memeluknya dari belakang!

"Jadi udah gak marah sama gue?" Mia berbalik lalu disambut dengan cengiran Aldy. Mia tertawa, menggeleng, lalu memeluk Aldy.

"Fin, balikin HP gue, Fin."

Senin, 10 November 2014

Mimpi

"Heh, kenapa bengong gitu?" Sebuah suara mengagetkan Anna dari keterpanaannya.
"As? Loh? Kok bisa?"
"Ngomong apaan, sih?" Dias mengarahkan pandangan ke sekelilingnya, "Mana bis kita?.....Oh."
"Kok oh aja, hubungin siapa gitu. Aku gak bawa apapun."
"Aku cuma bawa ini." Dias menunjukkan passport dan dompetnya. "Ah iya, yuk." Anna tersenyum, mungkin tertinggal bis bisa jadi hal yang menyenangkan.

"Selamat datang di Tembok Berlin, An."
"Aku lupa kamu pernah tinggal disini. Keren, As."
"Aku sahabat yang baik kan? Aku akan ajak kamu keliling Berlin."
"Jadi tour guide yang baik buat aku hari ini, ya." Anna tersenyum miris, sahabat.

"An."
"Hmm?"
"Aku tiba-tiba keinget Vya. Dia masih di sini gak, ya?"
Pandangan Anna cepat beralih dari tembok di depannya ke muka Dias. "Mana aku tau. Kenapa gak kamu coba cari aja mumpung kamu lagi di sini." Jawab Anna ketus. Setelah 3 tahun mereka dekat, nama Vya hanya terucap beberapa kali dari mulut Dias. Vya, perempuan pertamanya.

"Kok jadi ketus gitu? Kamu cemburu?" Dias menggodanya.
Setelah sekian lama perasaan ini dia simpan, masihkah Dias tidak sadar juga?

"An, Vya itu hanya masa lalu. Untuk masa depan, aku berharap bisa ada kita."
"Apa?" Mia memandang Dias dengan perasaan tidak mengerti, dadanya berdebar.
"Kamu butuh kejelasan. Aku sudah mengatakannya tadi. Dan sebenarnya kita tidak ditinggal bis. Aku hanya ingin menciptakan momen." Dias menjelaskan tanpa bisa menyembunyikan cengirannya.

Tiba-tiba tembok di depan Anna runtuh dan menimpanya.

***

"Kamu kok bisa jatuh dari tempat tidur gitu?" Muka Dias muncul dari tempat tidur.
"Aku mimpi kita muda lagi, As."