Selasa, 22 Juli 2014

Karemia #2

"Udah selesai? Gitu aja? Ga ada aksi tampar-tamparan dan ngelemparin minuman gitu?" Tanya Aldy sambil merangkul Mia begitu Mia ada di sebelahnya.

"Dan bikin malu diri gue sendiri di depan banyak orang? Nggak deh makasih."

"Lo udah janji ga bakal minum lagi, Mi." Kata Aldy lirih.

Langkah mereka tiba-tiba terhenti, Mia menatap mata Aldy nanar, "Gue gak mau ngambil resiko bakal ilang kontrol di situ, Al. Gue tadi berharap bisa ngeredam emosi gue dengan minuman itu. Dan berhasil kan?" Mia mulai berjalan lagi.

"Gue lebih seneng liat lo mempermalukan Ruben di depan orang-orang, tau? Lo tau gue ada di situ. Dan lo juga tau gue gak bakal ngebiarin lo, atau dia mempermalukan lo, Mi. Gue ga suka liat lo ngerusak diri lagi." Aldy membiarkan Mia masuk ke dalam mobilnya.

"Oh, please, Al. Tadi itu cuma bir. Dan gue cuma minum dua teguk. Gak bakal ada hal buruk yang terjadi akibat itu. Lo tau gue pernah minum yang lebih buruk dari bir." Jelas Mia saat mobil sudah berjalan.

Ya, Aldy tau. Sangat tau. Karena dialah yang memperkenalkan minuman-minuman itu pada Mia. Juga hal-hal buruk lainnya.

Empat tahun lalu, saat Mia naik ke kelas 12 dan Aldy baru saja lulus SMA, kejadian cukup buruk datang menghampiri Mia. Ibunya secara tiba-tiba meninggalkan rumah mereka. Mia yang tidak tau ada masalah apa jelas kebingungan. Ayahnya tidak bisa dan sepertinya juga memang tidak ingin menjelaskan apa-apa. Teman baiknya selama 6 tahun, yang diam-diam Mia cintai, cinta pertamanya, satu-satunya orang yang membuat Mia jatuh cinta, tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba tidak perduli dengan keadaan Mia.

Laki-laki ini, Adri, juga bukannya tidak mencintai Mia. Bukan sekali dua kali Adri menyatakan perasaannya. Tapi selama itu pula Mia memberikan jawaban yang tidak pasti. Bisa dibilang, Mia menggantung Adri. Saat itu Mia belum ingin mempunyai status sebagai pacar Adri. Membingungkan memang. Tapi keadaannya ya seperti itu. Adri dan Mia tidak bersekolah di tempat yang sama. Kota pun berbeda. Mereka dekat sejak keduanya sama-sama di sekolah dasar. Saat SMA, Adri pindah ke Jakarta, sedangkan Mia tetap di Bogor. Dan saat Adri pindah, mereka berkomunikasi lewat telepon, sms, bbm, skype, dan sosial media lainnya. Hapir tiap akhir pekan Ardi mengunjungi Mia. Kadang Adri menjemput Mia lalu mereka ke Jakarta. Selalu seperti itu. Mereka juga sering bertengkar, dan tak jarang mereka bertingkah seperti pasangan kekasih.

Semuanya berakhir saat ibu Mia pergi dari rumah. Ibu yang selalu ada untuknya, yang selalu membimbingnya, hilang. Pertama kali Mia pulang sekolah dan mendapati ibunya tidak ada di rumah, ia kira ibunya sedang pergi sebentar, tapi hingga malam, hingga besok pagi, ibunya tidak pulang. Sejak saat itupun ayahnya jadi jarang pulang. Dalam tiga hari, ayahnya hanya sekali tidur di rumah. Saat Mia meminta penjelasan, besoknya tidak pulang. Baru pulang dua hari kemudian. Hingga akhirnya Mia lelah dan tidak berbicara lagi dengan ayahnya. Mia bolos sekolah selama seminggu untuk menunggu ibunya pulang ke rumah, yang tak pernah pulang.

Semua sms, telepon, chat-chat Adri tidak ada yang Mia hiraukan. Adri menghampiri Mia ke rumah, tidak dibukakan pintu, saat Adri menghampiri Mia di sekolah, Mia menghindar. Saat Mia sadar dia masih memiliki Adri, Adri menghilang.

Saat ibu dan ayah Mia, juga Adri menghilang, Mia bertemu Aldy di sekolah. Sekolah Aldy dulu, sekolah Mia saat itu. Meskipun Aldy dan Mia bersaudara jauh dan hanya berbeda satu tahun, mereka tidak begitu dekat. Bisa dibilang Aldy dan Mia sangatlah berbeda. Dari kecil Aldy sangat bandel. Dan itu berlanjut hingga lulus SMA. Setelah lulus SMA dan belum mendapatkan tempat kuliah, kerjaan Aldy hanya main, main, dan main.

Mia dan Aldy memang ngobrol di sekolah, tapi hanya sebatas itu. Dulu, kadang Aldy main ke rumah Mia. Kadang juga sebaliknya. Saat Mia kebetulan bertemu Aldy di sekolah, dan mereka mengobrol, Mia menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Minus cerita tentang Adri. Sejak itu, Mia hampir selalu ikut dengan Aldy, mulai merokok, ikut balapan liar, minum minuman keras, dan hal-hal lain yang sebelumnya tidak pernah Mia bayangkan. Selama setahun Mia terkepung dalam dunia Aldy. Untung mereka tidak sampai mencoba narkoba. Aldy juga jadi sering menginap di rumah Mia, mencegah hal-hal lebih buruk terjadi pada Mia saat dia sedang tidak bersamanya.

Mia lulus dengan nilai yang sangat tidak memuaskan. Aldy sadar dia telah menjerumuskan saudarinya sendiri ke dalam dunianya. Aldy tidak perduli dirinya rusak, tapi tidak dengan Mia. Dia menyayanginya. Sedangkan Aldy sudah tidak menyayangi dirinya sendiri.

Aldy mulai meninggalkan dunia lamanya, ikut mengajak Mia kembali ke jalan yang benar. Perlahan Mia kembali menjadi dirinya sendiri. Memperbaiki kembali hubungan dengan ayahnya. Beruntung Mia diterima di salah satu perguruan tinggi di Malang, dan Aldy mengejar cita-citanya menjadi pilot. Karena kesibukan masing-masing, lama-lama mereka jadi jarang berkomunikasi, hingga tidak ada komunikasi sama sekali karena Aldy benar-benar tidak bisa dihubungi.

Setelah hampir tiga tahun tak bertemu, beberapa bulan lalu mereka bertemu di rumah kakek nenek mereka. Dan komunikasi mereka pun kembali lancar.

"Gimana kabar Papa, Mi?" Tanya Aldy saat mereka sudah memasuki apartemen Aldy dan memasukkan koper Mia ke kamar.

Aldy sekarang sedang menempuh pendidikan menjadi seorang pilot, dan menyewa apartemen di Jakarta untuk mempermudah dirinya.

"Baik, baik." Kata Mia sambil tiduran di sofa. "Lo kenapa gak ke Sidney aja sih, Al? Jadinya kan gue gausah bolak balik gini." Saat ini Mia sedang liburan kuliah, dan memutuskan untuk liburan bersama ayahya di Sidney. Tapi dia juga tidak ingin melewatkan liburan tanpa Aldy.

"Kalau lo mau beliin tiket pesawatnya sih gue gak keberatan, Mi. Eh, geser-geser." Aldy menggeser paksa Mia yang sedang selonjoran.

"Masa pilot gak bisa beli tiket pesawat? Kan gajinya gede." Mia akhirnya bersender pada Aldy.
"Gue tuh belum jadi pilot. Nanti kalau udah jadi pilot, baru deh." Aldy merangkul Mia dan mengelus rambut Mia.

"Nanti kalau lo udah jadi pilot, ajak gue jalan-jalan, ya? Tapi gratis." Kata Mia sambil terkekeh.

"Iya, tapi nanti kalau gue udah punya pesawat sendiri. Gue ajak lo keliling dunia." Jawab Aldy sok serius.

"Ah, kaya lo bakal punya pesawat sendiri aja sih, Al. Tapi gue doain kok, tenang aja. Asal kalau udah sukses, bagi-bagi ya?" Kata Mia sambil menepuk-nepuk bahu Aldy sok bijak lalu tertawa, Aldy juga.

"Lo ga sedih, Mi? Ga pengen nangis ngeraung-raung gitu? Kan baru putus? Diselingkuhin pula."
Mia menatap mata Aldy dengan mata disipitkan, "Enak aja. Dia tuh yang harusnya nangis karena udah kehilangan gue."

"Gak sedih gitu? Sedikitpun?" Tanya Aldy heran.

"Sedih, sih. Tapi lebih banyak keselnya. Udah ah ga usah bahas itu!" Jawab Mia sambil merengut lalu memejamkan matanya.

"Oke, oke." Aldy mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Udah tidur sana."

Mia tidak menjawab juga tidak bergerak. Aldy akhirnya sadar bahwa Mia sudah tidur dalam pelukannya. Aldy tidak membangunkan Mia untuk memintanya tidur di kamar, dia justru mengelus rambut Mia perlahan dan membuatnya tidur lebih lelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar