Selasa, 19 Agustus 2014

Karemia #4

Mia membuka matanya dengan terpaksa saat mendengar ketukan di pintu berubah menjadi gedoran. "Duh, Al kenapa nggak langsung masuk aja, sih." Gerutu Mia sambil berjalan dengan sangat lambat ke arah pintu.

Aldy mengerutkan keningnya, "Lo baru bangun? Asli, lo adalah perempuan terkebo yang pernah gue kenal, Mi. Ini jam sebelas siang dan lo malah nerusin tidur?" Aldy mengguncang-guncangkan badan Mia yang sekarang sedang tiduran di sofa.

"Aaah, Al, gue masih ngantuk." Mia mengucek matanya lalu bersender pada bahu Aldy dan melanjutkan tidurnya.

Aldy meletakkan bungkusan cukup besar pada pangkuan Mia, "Kalau lo nggak melek sekarang juga..."
Belum selesai Aldy bicara, Mia langsung menyela, "Apa, nih?" Mia membuka bungkusan di pangkuannya.

"Cewek macam apa sih lo ini, Mi.. Mi. Sikat gigi belum, cuci muka belum. Mandi apa lagi, ya?" Aldy geleng-geleng kepala lalu masuk ke kamarnya dan ganti baju. "Sweater siapa tuh?" Aldy tau Mia sangat tidak mungkin punya sweater yang cowok banget itu.

Mia melihat badannya dan baru sadar kalau selama tidur masih mengenakan sweaternya Fino di atas satu set baju yang dihadiahkan Marissa karena telah membantunya semalam. "Fino." Jawab Mia singkat. Setelah sampai ke tempatnya Tama, Mia langsung mengganti bajunya. Tapi berhubung bajunya tanpa lengan, Mia tetap menggunakannya sampai dia pulang.

"Siapa tuh? Lo sama dia kemaren? Pulang jam berapa? Dianter sampai rumah? Dia masuk ke dalem?" tanya Aldy beruntut.

"Ya ampun, Al. Papa aja nggak segininya lho kalau nanyain gue." Mia mendengus tapi tak  lama mulai menjawab, "Fino, temen gue. Gue ketemu sama dia kemaren abis pulang dari tempatnya Marissa, terus ketemu Tama deh, pulang jam setengah dua kalau nggak salah. Dianter kok, tapi cuma sampai lobi, dan lo tau gue bukan tipe cewek yang suka masukin cowo ke rumah lewat tengah malem. Lagipula ini rumah lo." jelas Mia panjang tanpa menjelaskan kejadian diturunkan di tengah jalan oleh supir taksi brengsek itu.

"Siapa pula Tama?"

"Adenya Fino. Eh, apaan nih?" Mia membuka bungkusan yang diberikan oleh Aldy tadi, "Buat gue?"

Aldy menatap sinis Mia, "Menurut lo? Pertanyaan gak penting, tau?"

Mia terkekeh sambil membuka paper bag yang ternyata berisi bermacam benda-benda rajut yang dipakai di kepala sampai kaki. Semuanya warna merah. Beanie ini cocok buat dipake pas lagi jalan-jalan di daerah gunung. Earmuff juga bisa laah dipake kalau cuaca lagi benar-benar dingin. Scarfnya juga lucu, walaupun emang terlalu tebel buat dipake di Malang, apalagi Jakarta. Sweater merah dengan pola yang belum pernah Mia lihat sebelumnya yang paling bikin dia jatuh cinta. Sarung tangan bisa Mia pakai saat membawa motor di Malang nanti. Tapi...

"Boot? Lo pikir kapan kira-kira Indonesia bakal bersalju Al, ngasih gue sepatu model gini?" Mia mengangkat sepatu bot merahnya tinggi-tinggi. Bagus memang, menutupi hingga 10cm diatas mata kaki, tapi di bagian atasnya terdapat bulu imitasi, dan beratnya minta ampun. Tipe-tipe bot yang dipakai di atas salju.

"Kalau gak mau, ya gak usah." Aldy mengambil boot itu dari tangan Mia.

Mia mengambil lagi sepatu itu dari tangan Aldy, "Kata siapa gak mau? Mau kok. Yang ini disimpen aja. Dipakenya nanti kalau tur keliling Eropa pas lo udah jadi pilot beneran. Nanti kita pake pesawat pribadi lo, terus tournya pas lagi winter ya?" Mia mulai mengkhayal.

"Tunggu gue jadi presiden dulu baru punya pesawat pribadi. Dan saat itu gue udah punya istri dan anak, jadi nanti gue ngajaknya mereka, bukan lo." Aldy menaik-turunkan alisnya di depan muka Mia. Dan sukses membuat muka Mia berubah jadi cemberut.

Dering ponsel membuat wajah Mia seketika sumringah lagi begitu melihat siapa yang meneleponnya. "Iya, Tam?"

"Ah iya, gue lupa. Jam berapa lo jemput? Aldy boleh ikut gak?" Mia melirik Aldy dan dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.

"Eh gak jadi deh, dia gak pengen ikut katanya. Sejam lagi lo berangkat? Oke-oke, gue mandinya ngebut kok." Mia nyengir dan langsung dilempar bantal sofa oleh Aldy.

"Oh kita gak berangkat bareng Fino? Dari pagi udah ketemu Meri? Rajin banget ya ngapelin pacarnya.." Mia membuat gerakan bibir pada Aldy 'mandi dulu ya' tapi masih tetap melanjutkan percakapannya dengan Tama di telepon.

Sebelum tadi malam, Mia dan Tama memang sudah beberapa kali ketemu, tapi tadi malam adalah obrolan terakrab mereka. Dan setelah diantar pulang, Mia dan Tama bbm-an sampai subuh. Makanya Mia bangun siang banget. 

Selesai mandi Mia, ternyata Aldy ada di dalam kamar Mia. "Lo ngapain di kamar, sih? Kalau pas gue masuk masih pake handuk gimana?" gerutu Mia.

"Gue tau lo selalu keluar dengan pakaian lengkap kalau abis mandi, makanya gue berani masuk. Nih." Aldy memberikan selembar surat yang bentuknya seperti undangan. "Adri nitip buat lo waktu lagi di bandara."

Mia melihat namanya tertera dalam undangan itu, tapi ditulis tangan. Sepertinya itu surat undangan dadakan yang ditujukan ke dirinya. Di depan surat undangan itu tertera nama Adri Mahapatih dan Kamia Lestari. Mia kaget dengan nama perempuan yang tertera, Kamia. Mirip sekali dengan nama Mia, Karemia.

Dengan tangan bergetar dan mata yang sudah berkaca-kaca, Mia membuka plastik yang membungkus surat itu. Di surat undangan diberitahukan bahwa pertunangan akan dilaksanakan hari Minggu, 23 September 2013. Setahun yang lalu?

Mia lalu menemukan surat lain, tulisan tangan Adri di selembar kertas yang disobek paksa. Mia membacanya sambil menangis. Dan kali ini, Aldy tidak melakukan apa-apa.

Jumat, 08 Agustus 2014

Karemia #3

Mia mulai panik berdiri sendirian di pinggir jalan saat jam mulai mendekati angka 12. Taksi yang sudah ditunggunya hampir 1 jam tidak juga lewat.

Dengan baterai hpnya yang nyaris habis, Mia berusaha menghubungi teman-temannya yang tinggal di Jakarta dan berusaha sebisa mungkin agar tidak perlu menghubungi Aldy.

"Na, udah tidur ya?" Tanya Mia pada orang di telepon.

"Belum, Mi, kenapa?"

"Lagi di Jakarta nggak? Gue gatau jalan pulang nih, ga ada taksi." Dalam hati Mia berharap Ana ada di Jakarta dan berbaik hati mau menjemputnya.

"Hah? Jam segini lo dimana? Gue masih di Bali, kan baru pulang minggu depan. Lo coba telepon Fino deh, kayanya dia di Jakarta. Lo lg di daerah mana sih emangnya? Kok bisa ga ada taksi, malem minggu loh ini."

"Gatau, Na. Aduh gue mulai takut nih, mana ada orang aneh-aneh."

"Ah, aneh-aneh gimana? Lo jalan Mi, jangan diem di situ. Duh jangan-jangan itu....."

"Yaah lo jangan nakutin gitu, dong. Aduh mampus gue. Yaudah Na makasih ya, semoga Fino lg di Jakarta, deh."

Sekarang Mia benar-benar panik. Dia jalan dan berusaha untuk tidak menghiraukan orang-orang yang berpakaian terlalu terbuka di malam hari itu. Mia melihat pakaiannya sendiri. Sial, ini sih nggak beda jauh sama orang-orang di situ. Kalau saja Aldy nggak meminta Mia buat menemaninya ke pesta peluncuran butik baru temannya dan menyuruhnya untuk berdandan rapi mengenakan baju pesta milik kak Ella, kakak Aldy, hal ini mungkin tidak terjadi. Yaa ini salah Mia juga sih, tadi saat pesta berlangsung Aldy baru ingat kalau dia ada tugas di tempatnya mengabdi sekarang, jadi harus pergi secepatnya karena Aldy sudah lumayan  telat. Mia yang masih betah, nggak mau diajak pulang. Saat Aldy memberikan kunci mobilnya, Mia juga menolak. Karena kalau Mia yang bawa mobil, terpaksa Aldy naik taksi, dan itu bisa memperparah keterlambatannya. Karena tidak semua supir taksi bisa bermanuver hebat di jalanan sepadat Jakarta. Alhasil Mia pulang naik taksi terburu-buru karena Aldy marah di telepon soalnya Mia belum pulang juga. Jaket yang Mia bawa juga tetinggal di tempat pesta itu.

Setelah nada sambung pertama, panggilan teleponnya langsung terangkat.
"Halo Fin, lagi di Jakarta gak?" Tanya Mia langsung.

"Iya, kenapa Mi?"

Mendengar jawaban Fino, Kia langsung lega luar biasa.
"Gue gabisa pulang Fin, udah nunggu hampir 1 jam, tapi gak ada taksi. Mau jalan tapi gatau jalan pulang, terus kayaknya ini tempat... lo tau lah ya, gue takut Fin."

"Lo ngapain malem-malem gini di jalan? Lo dimana sih?" Di seberang telepon Fino langsung panik dan memutar otaknya kira-kira dimana saja tempat Mia sekarang berada.

"Gatau Fin, gue gatau dimana." Mia berusaha bersikap tenang.

"Terus lo bisa ada di sana gimana?"

"Panjang ceritanya panjang. Tolongin gue Fin, please." Nada Mia benar-benar memohon. Saat ini sudah lumayan banyak mobil yang berhenti di pinggir jalan. Lokasi ini jadi ramai. padahal tidak ada satupun toko yang buka.

"Yaudah gue kesana bentar ya, jangan kemana-mana. Disitu ada tanda apa gitu? Tadi lo kemana?"

"Ke rumah temen sodara gue. Gatau dimanaaaa." Mia sudah mulai frustasi.

"Di perumahan? Lo tau ga nama perumahannya apa? Kalau nggak nama daerahnya deh." Dari telepon Kia mendengar Fino berbicara dengan seseorang.

"Mmmmm, gue lupa." Miamemutar otak, "Oh iya! Nama perumahannya Cemara Permata. Lo tau kan? Plis tau." Mia ingat karena saat berangkat tadi sempat terpesona dengan pintu masuk perumahan itu.

"Lo bisa nyampe tempat lo sekarang pake apa?"

"Taksi."

Fino geram sendiri, "Lo kenapa turun disitu, sih? Berapa menit dari rumah temen sodara lo itu?"
"Gak inget. Fin, berangkat sekarang dong, ya? Ya? Banyak mobil berhenti. Nanti gue dikira salah satu dari mbak-mbak itu, lagi!" Mia bergidik ngeri membayangkannya.

"Ck! Ini mau berangkat. Cuma gue harus mastiin dulu posisi lo. Biar lo nanti gak nunggu lama karna gue salah jalan. Inget-inget, berapa menit?" Dari seberang telepon Fino terdengar seperti sedang adu mulut dengan seseorang.

"Setengah jam-an lah kira-kira." Mia akhirnya memutuskan setelah satu menit berfikir.

"Lo pasang muka sangar ya pokonya sambil nunggu gue. Gue jalan sekarang. Di deket situ ada taman, kan? Jauh-jauh dari taman itu, terus kalau ada yang deketin lo, jangan ditanggepin, jalan aja terus. Jangan percaya siapapun. Jangan ikut siapa-siapa sampe gue dateng, ngerti?"

"Lo kira gue apaan mau masuk mobil orang gitu aja? Iya ngerti-ngerti. Cepet ya, Fin." Mia pun menutup teleponnya sambil menahan keki. Dikira dia segitu bodohnya percaya sama orang-orang disini? Tau, tau. Fino ngomong gitu karena lagi panik juga.  Sekarang Mia hanya bisa berharap kalau Fino bisa sampai secepat angin.

Sekarang orang-orang disitu menatapnya seperti melihat anak baru yang akan merebut mangsa-mangsa mereka. Ada beberapa orang yang berjalan mendekat dan Mia langsung menjauhi mereka sejauh yang ia bisa. Setelah merasa cukup jauh dari tempat ramai dadakan itu, Mia mulai berani untuk berhenti berjalan. Baru berhenti berjalan selama lima menit, ada satu mobil di depannya yang menyalakan sen kiri. Mia seketika panik dan bingung antara memilih untuk berjalan kembali ke tempat "ramai" atau lari melewati mobil itu. Saat bingung berfikir, mobil tersebut sudah berhenti di depannya. Kaget, Mia memilih untuk berjalan ke belakang dan bersiap menyebrang. Pintu supir terbuka, dan orang di dalam mobil berjalan menghampirinya. Dengan jantung yang sangat berdebar Mia menyebrang tanpa lihat ada motor yang melaju kencang ke arahnya. Tepat sebelum motor tersebut menyentuh tubuhnya, motor berhenti dan kaca helm pun dibuka.

"Naik." Fino nenarik halus tangan Mia. "Dia udah gue booked, dari tadi siang. Iya kan, honey?" Mia mengangguk kaku, dan lelaki dari mobil itu secara perlahan sambil mengangkat tangannya. Fino langsung meluncur dengan motor dan Mia di belakangnya.

"Thanks banget, Fin. Tadi nyaris banget." Kata Kia sambil menyenderkan keningnya pada bahu Fino.
Fino memelankan laju motornya lalu berhenti saat keadaan sudah aman. Fino menengok kebelakang membuat Mia harus menegakkan kepalanya kembali. "Lo gila pake baju gitu malem-malem gini? Naik taksi?" Fino membuka sweater yang dipakainya dan memberikannya pada Mia. Dengan senang hati Mia memakainya. "Thanks. Tapi perlu ya lo marah-marah gini?"

"Sori. Tadi lo bener-bener bikin panik, tau?" Fino membantu Mia mengeluarkan sisa-sisa rambutnya dari balik sweater, lalu tertegun. "Lo gemeteran."

"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa." Mia mengibas-ngibaskan tangannya.

"Jalan sekarang?"

Mia hanya mengangguk, tapi Fino bisa melihatnya.

"Gue ambil mobil dulu ya? Nanti lo sakit lagi naik motor malem-malem pake baju begitu."

"Lo lagi sama Meri, ya?" Mia menyebutkan nama pacar Fino.

"Mana mungkin semalem ini, Mi. Sama Tama tadi." Jawab Fino sambil menjalankan motornya.
"Fin, Meri marah gak kalau gue meluk lo sekarang?" Sikap manja Mia mulai muncul.

Sebagai jawaban Fino menarik tangan Mia yang ada di pinggangnya dan mengenggamnya selama perjalanan. Setelah beberapa menit Fino mulai merasa punggungnya basah.

Mia menagis.