Kamis, 26 Februari 2015

Black and White

Dear Dias

Terimakasih karena sudah membuat harapan yang tadinya sudah sedikit padam jadi menyala lagi,

terimakasih karena sudah bilang Alhamdulillah saat tau orang yang di foto itu adalah adik gue,

terimakasih karena sudah bilang merasa bete saat temen kita itu meledek gue terus,

iya, gue kangen,

iya, gue cemburu,

gue cukup tidak menyangka bahwa lo masih penasaran dengan orang itu, yang sebenarnya menurut gue, lo pasti sudah tau siapa orangnya dari dulu

Tapi, berhubung lo sudah membuat janji dengan 3 orang teman kita itu, gue rasa harapan akan tetap menjadi harapan, tidak menjadi kenyataan

Pipi lo cuma jadi sedikit lebih tembem, kok. Jadi jangan gak makan gara-gara itu, ya.

Anna

Oh iya, takutnya gue gak sempet bilang langsung, hati-hati ya kalau pulang malem, tau kan sekarang lagi rawan begal? Di daerah jalan pulang lo udah rawan sekarang.

**

Dias tersenyum saat membaca surat yang Anna tulis pada blognya. Tidak menyangka Anna sudah berani sefrontal ini sekarang.

Sabtu, 14 Februari 2015

Valentine's Day

Oke sebenernya tulisan gue ini bukan sepenuhnya tentang hari valentine sih, cuma berhubung hari ini adalah hari valentine, yaah gak apa-apalah ya ikutan dikit..

Sebelumnya gue mau cerita sedikit tentang hari ini. Harusnya, hari ini bisa dibilang 'one of best day of my life', karena tadi pagi akhirnya gue mendapatkan novel yang sudah gue tunggu-tunggu dari beberapa bulan yang lalu, dan meskipun masih pre-order setidaknya gue dapat memastikan bahwa gue akan mendapatkan novel itu + ttd penulisnya. Btw, itu novelnya Sitta Karina - Lukisan Hujan.

Lalu hari ini itu ada promo 'buy one get one free' dari  Sport Station, dan berhubung gue sangat menginginkan running shoes, promo ini tentunya sangat membantu disaat kondisi finansial gue yang sedang dalam keadaan tidak cukup baik. Tapi kemudian ada suatu hal yang membuat hari gue tidak cukup mengenakkan. Padahal gue dapat sepatunya, walaupun bukan sepatu yang selama ini gue incar.

Ya, ini berhubungan dengan seseorang. Orang ini sudah cukup sering gue bahas di blog. Hal ini membuat gue tiba-tiba memikirkan sebuah momen -belum terjadi tentunya- , dan terciptalah cerita ini.

Ini momennya...

Anna sedang menonton tv sambil chatting dengan temannya saat salah satu temannya itu mengirimkan pesan yang membuatnya sedikit terkejut,

Gue tau sih ini sudah malam, tapi boleh keluar rumah sebentar?

Anna melirik jam dinding di atas tv, jarum jam menunjuk ke angka 10.

Tanpa berpikir dua kali Anna langsung izin kepada ibunya dan segera keluar rumah. Ternyata temannya sudah menunggu di depan pagar.

"Kenapa, As?" Tanya Anna sambil membuka pagar lalu mempersilahkan Dias untuk masuk, tapi Dias memilih tetap di luar pagar, "di sini aja, An. Gue bentar doang, kok."

Anna menatap Dias, menunggunya mengatakan sesuatu. Dias lalu mengulurkan tangannya sambil memberikan tiga pucuk bunga mawar berwarna merah muda.

"Bunga?" Tanya Anna heran.
"Iya. Sekarang hari valentine kan?"
"Iya sih. Cuma aneh aja, kok tiba-tiba ngasih bunga?" Anna seketika merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Anna menatap mata Dias, dia tau mereka memang dekat, tapi sepertinya hal yang dipikirkannya saat ini adalah sesuatu yang cukup mustahil. Tapi, mungkinkah?

"Harusnya tadi lo yang nemenin gue, jadi gue bisa ngasih bunga ini pas kita lagi makan. Malam mingguan, di hari valentine. Pas kan? Tanggalnya bagus."

Anna mencoba menahan senyumnya, tidak berani berharap. Berusaha untuk menyangkal apa yang dipikirkannya saat ini. "Dan gue ngomongnya gak perlu buru-buru gini karena udah malem. Lo tau kan gue mau ngomong apa?"  Tanya Dias.

"Ngomong apa, As?"

"Kalau lo terima ambil bunganya ya, kalau nggak lo pamit masuk aja."

Anna tertawa, "terima apa?"

"Gue harus bener-bener ngomong ya?" Tanya Dias sambil tersenyum dan menatap mata Anna.

Anna tertawa sambil menatap Dias tepat di matanya. Menantang.

"Anna."

"Iya?"

Dias tersenyum manis, "lo mau jadi pacar gue? Kalau iya, lo ambil bunganya, kalau nggak, lo masuk aja ke dalem rumah sekarang."

Anna terdiam beberapa menit sambil terus menatap ke bawah, kemudian mengambil bunga dari tangan Dias.

Ps: di post ini, dan post-post sebelumnya, entah kenapa waktu yang tercantum tidak sesuai dengan waktu gue mempostnya. Gue menulis ini sekitar pukul 10-11pm.

Senin, 02 Februari 2015

Not Totally Stranger

Bram menatap perempuan bersweater cokelat di depannya. Sepertinya ini adalah kali pertamanya bermain ice skating. Bram tersenyum geli setiap melihat perempuan itu terjatuh saat sedang mencoba berdiri tegak di atas sepatunya. Perempuan itu begitu menarik perhatian Bram sejak pertama melihatnya. Bram tahu perempuan itu tidak sendiri, dia berasama dua orang temannya. Tapi perempuan ini, terlihat begitu berusaha keras agar bisa mengendalikan dirinya di atas es. Seperti ingin membuktikan sesuatu.

Setelah mencoba beberapa kali, perempuan itu akhirnya bisa melakukan satu putaran di arena es. Tapi terjatuh saat sedikit lagi mencapai teman-temannya. Bram menghampirinya, ingin membantunya berdiri, tapi saat Bram hampir sampai di dekat perempuan itu, dia berhasil bangun sendiri tanpa pegangan. Hebat, pikir Bram. Perempuan itu lalu menghampiri teman-temannya yang berada di pinggir arena.

Seperti perempuan kebanyakan pada umumnya, mereka berfoto. Perempuan itu mengeluarkan telepon genggam dari kantung celana jeansnya. Setelah melakukan beberapa kali jepretan, handpone perempuan itu jatuh lalu meluncur diatas es. Mereka bertiga kelihatan panik karena tidak tahu harus bagaimana. Bram menggerakkan dirinya ke arah handpone itu. Tapi lagi-lagi ia telat, seseorang telah mengambilnya dan memberikan handpone itu kepada sang pemilik.

Perempuan itu lalu mencoba mengelilingi arena es lagi. Pada titik yang sama dia jatuh tadi, dia jatuh kembali. Dan seperti sebelumnya, dia bangun sendiri lalu menghampiri temannya sambil tertawa-tawa. Di putarannya yang ketiga, perempuan itu kembali jatuh di titik yang sama, masih dengan tawanya yang sama, tidak memperdulikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kali ini, dia melanjutkan putarannya tanpa menyingkir sebentar ke pinggiran arena.

Kalau dilihat-lihat, perempuan itu sebenarnya sedikit tidak biasa. Dari jatuh di pinggir saat ia baru masuk dan mencoba untuk berseluncur sedikit demi sedikit, saat tangannya beberapa kali tersangkut di pegangan yang ada di pinggir arena, telepon gengganya yang berseluncur bebas di permukaan es, sampai terjatuh berkali-kali di tempat yang sama. Bram terus memperhatikan perempuan itu, sampai akhirnya mereka bertiga meninggalkan arena.

Jujur saja, Bram tidak bisa melupakan perempuan itu meskipun sudah beberapa hari dari kejadian di arena ice skating tersebut. Perempuan itu terlalu menyita pikirannya. Padahal Bram tidak bertemu lagi dengannya sejak itu.

Beberapa minggu setelah itu, Bram tidak bisa menahan rasa terkejutnya saat melihat perempuan yang sama di tempat parkir mobil salah satu tempat wisata di Bandung. Mobil perempuan itu bersama teman-temannya terparkir tepat di samping mobil Bram sehingga Bram bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka.
"Eh, lo kok nafas keluar uap sih? Gue nggak," kata perempuan itu sambil mencoba mengeluarkan uap dingin dari mulutnya. Saat itu cuaca memang sangat dingin karena sebelumnya hujan cukup deras, ditambah hari sudah sore.

Setelah mencoba beberapa kali akhirnya dari mulut perempuan itu keluar uap dingin, ia lalu tertawa bersama teman-temannya lalu mereka saling mengeluarkan uap dingin sambil terus tertawa.

Bram yang melihat kejadian itu menahan tawanya. Berbeda dengan teman-temannya yang menganggap perempuan itu bersama teman-temannya berisik dan norak. Sedangkan Bram sama sekali tidak terganggu dengan hal itu. Ia justru menganggap perempuan itu lucu. Sangat menarik.

Saat Bram sedang mengumpulkan keberaniannya untuk berkenalan dengan perempuan itu, dia justru masuk ke mobil dan pergi meinggalkan tempat parkir. Bram mengumpat, yang kemudian dijatuhi tatapan heran dari teman-temannya, "kenapa lo?" Tanya salah satu teman Bram.
"Gue tadi pengen kenalan sama cewek, tapi dia keburu balik duluan." Jelas Bram.
"Mana, mana? Cakep ceweknya?" Tanya teman Bram yang lain.
"Lo sih kalau sama cewek mikirnya lelet Bram. Makanya nanti kalau ada cewek kasih tau gue, biar gue yang kenalan." Kata temannya sambil terkekeh.
"Enak aja! Gue yang liat duluan," kata Bram tidak terima, "udah yuk ah balik, gue laper." Bram masuk ke mobil lalu berjanji pada hatinya sendiri, jika ia bertemu dengan perempuan tadi lagi, Bram tidakan berfikir dua kali, dia pasti akan langsung mengajak kenalan perempuan itu.

Minggu berikutnya, Bram benar-benar tidak percaya dengan keberuntungannya. Ini kebetulan.. atau takdir? Yang pasti Bram tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya kali ini. Melihat perempuan itu duduk sendiri di dekat kaca sebuah kedai kopi, Bram bersyukur. Perempuan itu sendiri, dia pun sendiri. Setidaknya dia tidak perlu mendengar ejekan teman-temannya atau tatapan aneh teman-teman perempuan itu.

"Sori, gue boleh duduk di sini?" Tanya Bram dengan secangkir kopi dalam gelas kertas di tangannya.

Perempuan menatap Bram lalu melihat keadaan tempat itu. Banyak meja kosong. Dengan ragu, akhirnya perempuan itu mengiyakan.

"Gue gak suka minum kopi sendiri." Kata Bram memulai percakapan. Tapi perempuan di depannya hanya tersenyum. Bingung harus bagaimana, Bram mengajaknya berkenalan.

"Bram." Katanya sambil menjulurkan tangan.

Perempuan itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya juga, "Audra. Tapi panggil aja Oda." Bram balas tersenyum sambil mengerutkan keningnya, nama panggilan yang lucu.

Melihat tatapan bingung orang di depannya Oda maklum, dia bukan orang pertama yang menganggap nama panggilannya aneh. "Kenapa? Namanya aneh ya?"

Bram tertawa kecil, "nggak, kok. Justru unik."

"Iya, unik bahasa halusnya aneh." Oda balas tertawa.

"Nggak, serius unik. Bukan aneh."

Mulai dari situ, percakapan mereka pun mengalir dengan lancar.

"Gue bukan orang jahat." Kata Bram.

"Orang jahat biasanya ngomong gitu." Oda menatap Bram dengan pandangan yang tidak dimengertinya. "Tapi gue tau kok lo bukan orang jahat." Lanjut Oda sambil tersenyum.

Bram mengeluarkan dompet lalu menunjukkan kartu mahasiswanya, seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia.

Oda tertawa. Tidak mau kalah, dia memperlihatkan kartu mahasiswanya, mahasiswi salah satu perguruan tinggi negerti ternama lain di Indonesia. Melihat tanggal lahir yang tertera sama dengan tempatnya kuliah, Bram kaget, "lo sendiri di sini? Apa sama temen?"

"Sendiri, kenapa?" Tanya Oda sambil memasukkan kembali kartu mahasiswanya.

"Pernah tinggal di Jakarta?" Bram balik tanya. Tapi hanya dijawab Oda dengan gelengan.

"Tapi tau jalan-jalan Jakarta, kan?"

Oda nyengir, lalu menggeleng, "nggak terlalu sebenernya." Oda tahu, mengungkapkan hal tersebut pada orang yang baru saja dikenalnya adalah berbahaya. Tapi entah kenapa dia merasa bisa mempercayai laki-laki di depannya.

Bram geleng-geleng kepala, "kalau gue orang jahat dan lo bilang gitu ke gue, gue pasti udah bakal culik lo, Da."

"Untungnya lo bukan." Oda menatap mata orang di depannya. Lalu tiba-tiba matanya melebar. "Heterochromia." Bisik Oda pada dirinya sendiri.

Bram menatap Oda takjub, "lo nyadar? Padahal ini gak begitu kelihatan jelas kalau sekilas."

Oda hanya mengangkat bahunya, "gue tipe orang yang merhatiin mata kalau lagi ngobrol sama seseorang." Bram tersenyum takjub.

"Jadi, lo bener-bener sendiri ke Jakarta. Ngapain?" Tanya Bram penasaran.

"Jalan-jalan aja."

"Sendiri? Kalau nyasar? Kenapa gak sama temen-temen lo aja jalan-jalannya?"

Lagi-lagi Oda mengangkat bahunya, "lagi pengen jalan-jalan sendiri aja. Kalau nyasar ya tinggal nanya orang shelter trans jakarta terdekat dimana, atau cari taksi, atau kalau udah panik tinggal telepon temen yang tinggal di Jakarta." Jelas Oda lalu nyengir. "Lo ngapain?" Lanjut Oda balik nanya.

"Lagi pengen jalan-jalan."

"Gue kira lagi pengen ngopi disini."

Bram menatapnya bingung, "kenapa emang?"

"Nggak kenapa-kenapa. Gue pikir lo emang mau ke sini. Habis lo kan orang Jakarta, kedai kopi ini bukan di pinggir jalan besar, cukup tidak terlihat malah. Tapi bisa tiba-tiba kesini, ya?" Jelas Oda.

Kali ini Bram yang mengangkat bahunya, "mungkin kebetulan. Atau jangan-jangan takdir?" Oda hanya membalas kata-kata Bram dengan tawa.

"Jadi, abis ini lo mau kemana?" Lanjutnya.

"Gak tau nih bingung. Tapi belum pengen pulang. Pengen ke kota tua, sih. Cuma kayaknya gak asik kalau sendiri, lagian udah sore pasti udah pada tutup. Mungkin abis ini ke Matraman terus pulang." Jawab Oda.

"Kan bisa jalan-jalan di luarnya aja. Emang belum pernah ke kota tua?"

"Udah pernah. Cuma belum pernah masuk ke bangunan-bangunnya. Pengen lihat."

"Kenapa? Penasaran?" Tanya Bram, penasaran.

"Gue suka bangunan-bangunan jaman dulu. Eropa lebih tepatnya. Dinding kokoh, tangga lebar, jendela tinggi, pintu besar. Pengen lihat langsung karena biasanya cuma lihat gambarnya aja. Dan tempat paling deket buat lihat langsung, ya di Jakarta." Jelas Oda.

Bram tersenyum sambil menatap Oda yang sedang menyesap kopinya. Hal unik lain yang dia temukan dari Oda.

"Gue bisa bawa kita masuk." Kata Bram tiba-tiba sambil berdiri. "Ayo, gue temenin. Gue bakal jadi tour guide lo sampe lo pulang nanti."

Oda menatap Bram yang sudah berdiri, mempertimbangkan.

"Kenapa? Lo takut jalan-jalan sama orang yang baru lo temui?" Tanya Bram sambil menatap Oda. "Tenang aja, ini bukan pertama kalinya kita ketemu, tau."

Oda menatap wajah Bram lebih dalam, mengingat-ingat. Tiba-tiba wajahnya menunjukan ingatan sekitar setahun yang lalu. "Oh iya. Kita pernah ketemu di angkot. Lo naik dari stasiun. Temen-temen lo...."

"Dorong-dorong gue supaya kenalan sama lo." Bram melanjutkan kata-kata Oda. Mereka berdua lalu tertawa bersama.

Ternyata mereka sudah bertemu jauh lebih lama dari yang Bram pikirkan selama ini.