Selasa, 10 Maret 2015

Lukisan Hujan

Sitta Karina bukanlah penulis yang asing lagi bagi gue. Novel pertamanya yang gue baca adalah Aerial, yang sayangnya hilang entah kemana setelah gue lulus SMA. Lalu novel keduanya yang -awalnya gue sangka- gue baca adalah Putri Hujan dan Ksatria Malam. Lalu keluarlah novel barunya yang berjudul Rumah Cokelat. Gue baca, kemudian gue menyadari bahwa gue nyaman dengan gaya tulisannya. Berbobot tapi ringan, buat gue sedikit mikir kalau lagi baca novelnya, tapi gue bisa dengan lancar baca novelnya sampai akhir. 

Kemudian keluarlah serial Magical Seira. Awalnya gue baca yang pertama, lalu ternyata keluar Seira& Abel's Secret, dan ternyata ada cerita selingan yang menyangkut Chiko Hanafiah, Sand Castle. Lalu seri Magical Seira yang terakhir, Seira and The Destined Farewell. Gue merasa bahwa gue makin cocok dengan gaya tulisannya.

Novel lainnya yang sudah gue baca, Dunia Mara. Yang belakangan gue tahu bahwa itu adalah gabungan dari cerita bersambung Kak Sitta yang pernah di publish di salah satu majalah. Cerita tentang Hanafiah lainnya. Bikin gue makin penasaran karena kabarnya Kak Sitta mau mencetak ulang Lukisan Hujan. Ceritanya Diaz - Sisy. Yang seinget gue, dulu pernah gue baca ceritanya.

Jujur gue nunggu banget terbitnya Lukisan Hujan. Sampai mantengin twitter buat pre-order di salah satu toko buku online. Saat sudah bisa pre-order Lukisan Hujan dengan tanda tangan Kak Sitta, ternyata gue kehabisan. Untungnya ada toko buku online lain yang menjual Lukisan Hujan + ttdnya. Setelah memesan, ternyata novelnya sampai di rumah lebih cepat dari dugaan gue. Dan gue suka banget covernya.



Lukisan Hujan berada tetap di meja belajar dan belum gue baca sampai beberapa hari yang lalu. Gue mencari waktu yang pas dimana gue bisa baca sampai habis tanpa terinterupsi tugas kuliah yang datang tiada henti. 

Setelah gue selesai baca, gue jatuh cinta dengan sosok Diaz. Bagaimana Diaz, yang seharusnya bersama dengan para Hanafiah lainnya tinggal di dunia yang berbeda dengan kehidupan sehari-harinya. Meski sulit, Diaz lebih suka kehidupannya. Dan tetap menjaga baik hubungan dengan sepupu-sepupunya. Lalu Sisy, yang seperti digambarkan Kak Sitta, manja tapi juga bisa bersikap dewasa. Yang perlahan bisa merubah Diaz menjadi sosok yang lebih baik lagi. 

Cerita yang digambarkan oleh Kak Sitta membuat gue membayangkan apa rasanya jadi Sisy. Bisa tinggal di lingkungan yang begitu seru dengan tetangga seperti Igo, Aga, Nina, Fey, dan yang lainnya. Dan yang terutama, bisa kenal Diaz. Gue yang tidak mempunyai kakak laki-laki sama sekali, jadi membayangkan bagaimana rasanya menjadi Sisy yang memiliki Diaz dan Fey, bahkan Tizar. Juga bagaimana jadi Bianca yang mempunyai sosok seperti Reno. 

Diaz dengan dilemanya tentang Anggia, Mirelle, juga Sisy. Mungkinkah cerita seperti itu bisa terjadi di dunia nyata? 

Lukisan Hujan bisa membuat gue dengan mudah membayangkan kejadian-kejadian di dalamnya. Membuat gue terasa ikut serta di dalamnya. Cerita tentang klan Hanafiah yang sepertinya kurang surreal bisa terjadi di Indonesia, tapi siapa yang tahu? Gue sangat menikmati cerita Diaz - Sisy ini. Terlepas dari logika yang mungkin terjadi di kehidupan nyata. Bahkan jujur, gue sama sekali tidak mempermasalahkan cerita-cerita yang justru kurang logis.

Gue penasaran banget sama Nara. Juga Sword Tears. Setelah gue ingat-ingat, Sword Tears pernah di bahas sedikit di Magical Seira dan Dunia Mara

Dari Lukisan Hujan gue mempelajari, bahwa setiap orang memiliki lowest point-nya masing-masing. Bahkan Diaz dengan sifat seperti itu pun, bisa terlihat sangat terpuruk setelah mengetahui Sisy akan pergi.
Gue selalu menganggap Sisy cengeng, Diaz membatin seraya tersenyum, tapi lihat siapa yang sekarang pengin nangis.
Seperti Nara dan Reno. Atau bahkan Anggia. Dengan predikat apa pun yang menempel, suatu saat pasti akan ada orang yang dapat merubah kehidupan mereka. Suatu saat, setiap orang akan menemukan cinta sejatinya. Contoh gampangnya, lihat Diaz. Tinggal mereka sendiri yang memilih, apa yang lebih diinginkan, dan dibutuhkan dalam hidupnya.

Juga apa yang cukup mengguhah hati gue adalah kata-kata ayah Diaz, 
 live for the moment to make it last forever
Setelah Lukisan Hujan akhirnya selesai gue baca hingga kata terakhir di buku itu, gue menyadari bahwa novel yang gue baca dulu itu adalah Lukisan Hujan, bukan Putri Hujan dan Ksatria Malam. Yang paling buat gue yakin kalau yang gue baca Lukisan Hujan adalah saat Sisy dikejar oleh Ipen dan teman-temannya, Diaz datang menyelamatkan Sisy.

Seperti yang dikatakan Kak Sitta, memang terdapat perbedaan dari Lukisan Hujan yang telah dicetak ulang dan versi sebelumnya. Karena sudah bertahun-tahun yang lalu gue baca Lukisan Hujan, gue tidak terlalu banyak menyadari perubahan-perubahan yang terjadi. Tapi ada beberapa perubahan yang gue ingat, seperti hilangnya kata-kata Anggia, atau Inez, atau Mirelle (gue tidak begitu ingat), yang bilang bahwa ia tidak ingin tidur larut malam untuk menjaga penampilannya, khususnya bagian wajah. Kemudian, di bagian terakhir buku, versi lama menggambarkan Diaz senang karena ternyata Sisy bisa waltz, sedangkan pada versi baru, mereka langsung waltz di gazebo. Gue pribadi, lebih suka jika bagian Diaz senang mengetahui Sisy bisa waltz tidak dihilangkan. Tapi Kak Sitta pasti sudah mempertimbangkan, apa saja yang dihilangkan, diganti, atau malah ditambah.

Overall gue suka banget sama Lukisan Hujan, terutama versi barunya karena kata-katanya sudah lebih tersusun dan penggunaan kata ganti namanya sudah tertata, tidak seperti versi lamanya. 

Gue sangat menunggu versi baru cerita Hanafiah lainnya, Inez, Chris, Bianca, Austin, bahkan kelanjutan kisah Diaz - Sisy. Dan gue sangat sangat menantikan cerita Nara Hanafiah dimana ia berperan sebagai pemeran utamanya.

Rabu, 04 Maret 2015

Karemia #7

Mia memandang kosong televisi di depannya. Sejak menerima telepon dari ayahnya dan akhirnya menemukan jawaban kemana ibunya pergi selama ini, Mia tidak bergerak dari posisi terakhirnya. Mia sudah tidak histeris lagi, tapi air matanya masih keluar kadang-kadang. Mia tidak bersuara, tidak makan, tidak minum, tidak menghapus air matanya dan membiarkannya kering dengan sendirinya, tapi kemudian pipinya basah lagi, lalu kering lagi.

Mia hanya bersender pada sofa. Dia seperti patung. Secara harfiah. Yang membuktikan Mia masih hidup hanyalah dadanya yang naik turun karena bernafas dan air mata yang sesekali keluar.

Aldy selalu mengajak mia bicara meskipun tidak ada jawaban. Aldy awalnya membiarkan Mia seperti itu. Dia sadar, dalam waktu kurang dari 48 jam menerima dua berita buruk, bagi siapapun, ini memang tidak mudah. Tapi setelah jarum jam berhenti di angka 11, Aldy sudah tidak tahan lagi. "Mi, lo udah kaya mayat hidup, tau?" Tidak ada jawaban.

Aldy lalu mengguncang-guncang pundak Mia dan mengarahkan Mia agar menghadapnya, "mau sampe kapan kaya gini? Lo nggak bergerak sama sekali selama 6 jam! Heh liat gue!" Tangan Aldy merangkup muka Mia lalu membuatnya menatap mata Aldy.

Mia lalu tersenyum lemah pada Aldy, "gue haus." Aldy tersenyum lebar mendengar suara yang akhirnya keluar dari mulut Mia. Aldy mengacak-acak rambut Mia lalu mencium keningnya, "gue gak nyangka bisa selega ini denger suara lo. Gue ambil minum dulu bentar." Kata Aldy lalu beranjak dari hadapan Mia.

Mia menarik nafas panjang lalu senyumnya tadi seketika menghilang. Mata Mia mengamati setiap sudut ruangan hingga akhirnya gerakan mata Mia berhenti saat menemukan apa yang dicarinya. Mia lalu beranjak dari tempatnya dan mengambil kunci mobil yang ada di meja dekat kamar Aldy lalu segera keluar dari apartemen itu tanpa mengelurkan suara.

**

Mobil Aldy akhirnya berhenti di parikiran sebuah bangunan satu lantai berlogo N.U.T.Z. tepat di atas pintu masuk utamanya. Nama club itu sebenarnya adalah gabungan dari para pemiliknya, Netta, Urinda, Tiara, dan Zarinda. Tapi terlepas dari nama-nama mereka, suasana club ini benar-benar membuat para pengunjungnya terlihat 'menggila'. Dari luar, bangunan bergaya abad pertengahan ini terlihat begitu teduh dan damai. Di dalamnya? Jangan tanya bagaimana suasananya.

Mia melangkahkan kakinya memasuki bangunan itu. Ingar bingar suara musik langsung terdengar di pintu masuk. Di lantai dansa, berpuluh-puluh orang menggerakan badan mereka mengikuti irama musik. Walaupun minim cahaya, Mia berjalan ke arah meja bar tanpa kesulitan sama sekali.

Sesampainya di meja bar, Mia langsung duduk di kursi tinggi dan mulai sibuk mencari orang yang ditujunya. Saat menemukan orang yang dicari, Mia langsung berteriak memanggil nama orang itu, berusaha mengalahkan musik yang terdengar di seluruh penjuru ruang.

"Sam!"

Orang yang bernama Sam seketika membelalakan matanya saat tahu siapa yang memanggilnya, "Mia? Tumben kesini lagi." Kata Sam masih dengan ekspresi terkejutnya.

"Apa kabar, Sam? Gila, gak nyangka lo masih tahan disini. Zarin belum juga promosiin lo jadi manajer?" Tanya Mia sambil tertawa kecil. Meski dalam hatinya ia sangat bersyukur Sam masih menjadi bartender di N.U.T.Z. sehingga memudahkannya mendapatkan apa yang ia inginkan dalam kondisinya saat ini.

"Eits, jangan salah. Gue sebenernya udah punya ruangan pribadi sekarang. Cuma masih seneng nongkrong di bar aja, kali aja bisa ketemu lo lagi, Mi. Eh, ternyata harapan gue terwujud sekarang." Kata Sam sambil tersenyum lebar, menggodanya.

Sam menatap Mia dengan wajah heran, "coba berdiri." Mia yang tidak mengerti lantas berdiri dengan raut kebingungan.

"Lo serius masuk kesini dengan pakaian itu? Mana Aldy?" Raut wajah Sam seketika berubah.

Mia tersenyum kecut. Ia bukannya tidak menyadari penampilan dia yang jauh berbeda dengan orang-orang disitu. Kaus lengan panjang, celana katun selutut, dengan flat shoes yang benar-benar flat. Kalau saja Mia tidak kenal dengan orang yang berjaga di pintu tadi, mustahil Mia bisa masuk ke sini. Selain penampilannya yang sudah acak-acakan, Mia juga tidak membawa KTPnya. Yang Mia bawa saat ini hanya pakaian yang dikenakannya, dan kunci mobil Aldy. Dan dari pertama masuk sampai sekarang, setiap orang yang melihatnya menganggap Mia gila karena salah kostum dan salah tempat.

"Gue sendiri. Dan please lo jangan ngabarin Aldy, oke?" Pinta Mia dengan suara memelas.

"Lagi berantem sama Aldy? Karena ini adalah kali kedua lo sendiri kesini, dan yang pertama karena lo berantem hebat sama dia." Kata Sam sambil membuat punch milik salah satu pengunjung di samping Mia. "Muka lo pucet banget. Separah itukah kalian berantemnya?" Sam mengangkat wajah Mia dengan jemarinya, khawatir. "Lo tau, lo bisa datang kapanpun ke gue, Mi." Lanjutnya.

Mia tersenyum, "gue sibuk," lalu nyengir.

Sam langsung mengacak-acak rambut Mia, "susah banget ya, ngasih perhatian ke lo itu? Mau gue panggilin Zarin?"

Mia nenatap tajam Sam, "jangan, lah! Males banget gue dia pasti nanyain Aldy mulu. Lo mau dia ngetawain gue dengan penampilan yang kaya gini? Udahlah, biasa ya, Sam. Gue lagi butuh banget sekarang."

"Gue pikir lo udah nggak minum." Kata Sam heran. Yang dijawab Mia dengan senyum tipis. "Bener-bener parah, ya?" Tanya Sam tambah khawatir. Ia tidak akan melepaskan matanya dari Mia malam ini.

**

Mia sedang menikmati cairan di dalam gelasnya, saat seseorang menarik gelasnya dengan paksa. Mia menghela nafas. Secepat inikah dirinya ditemukan?

Melihat Aldy menarik gelas dari tangan Mia dengan kasar, Sam langsung menghampiri mereka.
"Gelas keberapa?" Pertanyaan Aldy sebenarnya ditujukan kepada Mia, tapi berhubung fokusnya sudah sangat berkurang, ia malah mengambil gelas yang direbut Aldy tadi dan menenggak isinya sampai habis.

"Al, udahlah biarin aja Mia."

"Lo udah gila? Gelas keberapa?" Aldy mengulangi pertanyaannya dengan suara dingin.

"Lima." Jawab Sam tak kalah dingin. "Lo yang gila, ngapain Mia sampe dia parah kaya gini?"

"Bukan urusan lo."

"Gue tau kapasitas Mia. Lo bisa percayain dia sama gue, Al." Kata Sam sambil menatap Aldy tajam.

"Bukan itu masalahnya, ck. Ayo Mi, balik." Dan saat Aldy menoleh, Mia sudah menghilang dari sisinya.

"Gue mohon banget kalau dia kesini lagi atau ngehubungin lo, langsung kabarin gue." Kata Aldy sambil berlalu. Ia kemudian mengeluarkan telepon genggamnya.

"Halo, Fin?"
....
"Iya dia langsung pergi tadi abis gue dateng"
....
"N.U.T.Z. nanti gue ceritain."