Minggu, 07 Januari 2018

Priority

Choose your priority wisely.

Saya pernah salah dalam menentukan prioritas. Saya pernah melepas mimpi saya yang sudah ada di depan mata demi sesuatu yang saya anggap sebuah prioritas. Rasanya? Menyesal sampai sekarang. Hikmahnya? Banyak. Semua yang terjadi memang tidak mungkin sia-sia dan tanpa tujuan.

Kalau saya meraih mimpi saya waktu itu, saya tidak akan menyadari betapa banyak kebenaran yang selama ini tersembunyi dibalik sikap dan kata-kata manis seorang manusia. Saya tidak akan bisa belajar caranya memilih apa yang lebih baik untuk diri saya sendiri. Saya tidak akan tau bagaimana rasanya jatuh hingga hancur kemudian berusaha bangkit untuk memperbaiki diri lagi. Saya tidak akan tau rasanya dikecewakan seluar biasa itu dan belajar menerima bahwa, tidak semua bisa berjalan seperti apa saya menginginkannya.

Dilema besar saat harus memilih apa yang lebih penting dalam waktu singkat itu rasanya, bimbang luar biasa. Apalagi kalau dua-duanya pernah dianggap sebagai prioritas. Tapi pasti ada satu kondisi atau apa pun, yang membedakannya. Yang meskipun salah satunya memang lebih penting saat ini, percayalah kebimbangan itu tidak akan hilang. Keraguan akan tetap ada. Apakah pilihan yang diambil sudah tepat? Apakah akan ada penyesalan nantinya?

Jawaban paling gampang,
manusia.

Tidak akan ada pilihan yang benar-benar 100% benar. Tidak akan ada pilihan yang akan membuat hidup 100% bahagia. Tapi, akan selalu ada pilihan yang dapat membuat, setidaknya lebih sedikit kepedihan yang akan dirasakan nantinya.

Saya pernah jatuh karena salah memilih prioritas. Dan hingga saat ini luka yang terbentuk belum sembuh sepenuhnya. Tapi hal yang paling penting, saya masih hidup. Saya masih bernafas untuk berusaha memperbaiki hidup saya. Yang artinya, perjuangan masih panjang.

Memilih memang sulit, memilih hal yang dapat menentukan nasib seorang manusia kedepannya, jauh lebih sulit. Kadang hidup memang harus dijalankan secara hati-hati. Kadang kita hanya cukup menjalaninya saja, membuat diri kita berusaha saat ini, dan biarkan Tuhan yang menentukan hasilnya.

Kamis, 23 Februari 2017

Penting

Pernah kamu berpikir bahwa suatu hal sangat penting hingga kamu terus memikirkannya? Apa kamu tau bahwa bagi seseorang, hal tersebut sangatlah tidak penting?

JANGAN PERNAH SEPELEKAN ISI HATI DAN PIKIRAN MEREKA.

Kamu tidak akan pernah tau seberapa pentingnya yang dia pikirkan itu. Entah dalam konteks apa pun. Tolong hargai. Jika tidak ingin membantu, tolong mengerti. Tidak perlu mencaci. Tidak perlu merendahkan. Setiap pikiran punya nilainya bagi orang yang memikirkan hal itu.

Kamu tidak akan pernah tau kapan kamu benar-benar membutuhkan seseorang saat hal "tidak penting" kamu itu terjadi. Saat orang lain berpikir itu tidak penting sama sekali bagi dirinya, tidak akan ada yang mau membantu kamu. Jika ingin dihargai, tolong hargai. Jika tidak ingin direndahkan, tolong jangan merendahkan. Jika tidak ingin disepelekan, tolong jangan menyepelekan. Kamu tidak hidup sendiri di dunia ini.

Setiap perasaan orang itu adalah hal yang sangat penting.

Masih menyangkal? Bagi kamu mungkin sama sekali tidak penting. Tapi bagi pemiliknya, termasuk kamu jika kamu masih punya perasaan, apa kamu pernah berpikir bahwa perasaan kamu tidak penting? Kamu orang bodoh kalau menganggap perasaan sendiri tidak penting. Hanya perasaan naif kamu yang membuat kamu tidak mementingkan perasaan kamu. Dalam hal ini bukan berarti egois. Ini perasaan, bukan perbuatan.

Hal paling tidak penting sekali pun, jika kamu masih punya perasaan, apalagi terhadap orang yang paling kamu pedulikan, kamu tidak akan memperdulikan hal tersebut penting atau tidak. Karena bagi kamu yang terpenting, perasaan orang yang kamu pedulikan itu. Kamu akan mencoba untuk menghargainya. Kamu akan mencoba untuk mengertinya.

Ingat, semua perasaan setiap manusia di dunia itu berharga.

Semua tergantung kepada pemiliknya, memilih untuk berjuang demi perasaannya, atau merelakan karena akhirnya dirinya sendiri yang merasa hal yang akan dirinya lakukan tidak terlalu penting.

Mata dibayar mata. Saya rasa itu bukanlah hal yang salah. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Minggu, 19 Februari 2017

1 Tahun

Tidak ada manusia yang sempurna. Diri saya pun tidak sempurna, malah jauh dari sempurna. Setiap pasangan pasti memiliki kekurangannya masing-masing. Dan jika saya bilang, pasangan saya sudah sempurna untuk saya, itu hanyalah kata-kata yang dibuat untuk mempertahankan diri. Karena memang tidak ada yang sempurna. Saya tidak bisa memaksakan apa yang saya inginkan dari pasangan saya. Berharap, boleh. Siapapun berhak untuk memiliki harapan.

Pasangan saya tidak akan bisa menjadi sempurna untuk saya, begitu pun dengan saya. Sampai kapan pun, saya tidak akan bisa sempurna untuknya. Tapi Dia sangat cukup untuk diri saya. Dan masing-masing dari kami, membuat semuanya pas. Meski masih banyak lubang dimana-mana.

Setiap orang pasti mengharapkan suatu perlakuan yang ingin didapatkan dari pasangannya. Jujur, saya juga. Tapi tidak selalu bisa. Pasangan saya bukan laki-laki paling romantis. Bukan laki-laki yang senang memberikan bunga, coklat, atau hal semacamnya. Bukan laki-laki yang menunggu saya saat sedang jalan lalu menggandeng tangan saya. Bukan laki-laki yang selalu berjalan di sisi luar saat di jalan raya. Bukan laki-laki yang selalu berjalan di belakang saya saat tidak bisa jalan bersisian. Bukan laki-laki yang langsung terlihat khawatir saat saya tersandung atau hampir terjatuh. Bukan laki-laki yang langsung bersikap lunak setelah melihat saya menangis. Bukan laki-laki yang selalu langsung mengabari saya setiap saya menunggunya. Bukan laki-laki yang memasang atau menyimpan foto saya yang terlihat cantik. Tapi itulah Dia apa adanya. Membahagiakan dan melindungi saya dengan caranya sendiri. Tapi bukannya semua yang saya inginkan tidak Dia lakukan. Banyak hal yang Dia lakukan, banyak hal-hal yang akhirnya Dia lakukan setelah saya mengingatkannya, dan banyak pula hal yang tidak saya perkirakan sebelumnya, yang membuat saya merasa sangat bahagia. Karena sejujurnya, saat saya sedang bersamanya, berada disampingnya, melihatnya, tanpa melakukan apa-apa, itu sudah lebih dari cukup.

Selama 1 tahun saya menyadari, saya tidak bisa memaksakan pasangan saya untuk menjadi apa yang saya inginkan. Saya juga tidak bisa memintanya untuk langsung mengerti apa yang saya rasakan, karena saya juga tidak langsung mengerti setiap kata-kata dan perbuatan yang Dia lakukan. Setiap hal yang terjadi pasti memiliki alasan. Entah ternyata alasan itu benar, hanya mengada-ada, atau dibuat untuk memperbaiki keadaan. Saya tahu itu dengan baik, karena semua jenis alasan, pernah saya dengar. Saya bukan orang yang bisa dengan mudahnya termakan dengan alasan, karena itu saya sering menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Entah bagaimana, saya tahu. Tapi apa pun itu, saya percaya, alasan sesungguhnya akan terungkap, dan itu semua dibuat dengan niat yang baik, meskipun tidak selalu memberikan hasil yang terbaik. Dan hanya untuk dirinya saya berusaha untuk menerima alasan-alasan itu.

Hal lain yang saya pelajari, jangan ambil keputusan sendiri. Karena entah seberapa yakinnya saya terhadap keputusan yang saya ambil, belum tentu itu juga hal terbaik yang diarasakan oleh pasangan saya. Begitu pula sebaliknya. Keputusan yang menurutnya untuk yang terbaik, kadang justru merupakan keputusan yang menyakitkan bagi saya. Akan ada banyak hal yang tidak dapat dimengerti. Oleh karena itu, komunikasi dalam hubungan saya merupakan hal yang sangat penting. Seberapa besar saya melakukan usaha yang saya pikir sudah memenuhi apa yang diinginkan pasangan saya, atau seberapa besar pasangan saya berusaha untuk memenuhi apa yang saya inginkan, pasti tidak akan pernah cukup. Jadi, saya mengatakannya. Mengatakan apa yang saya rasakan, mengungkapkan apa yang menurut saya kurang benar. Dia juga melakukannya.

Dalam menjalani hubungan, akan selalu ada pembelajaran. Saya akan belajar untuk menerima sifat-sifat dan kebiasaannya. Memperbaiki hal yang menurut saya kurang baik. Mencoba untuk membawa hubungan kami ke arah yang lebih baik. Dan saya percaya, Dia juga melakukan hal yang sama. Lambat laun, saya mulai terbiasa dengan hal-hal yang belum bisa saya terima dulu. Meskipun perasaan sedih itu masih sama, rasa sakit itu masih ada. Tapi siapa di dunia ini yang hanya merasakan kebahagiaan? Rasa sedih dan sakit itu akan tertutup oleh rasa bahagia yang saya dapatkan darinya.

Saya hanya ingin mengungkapkan seberapa besar rasa sayang saya terhadap satu orang laki-laki yang saya tidak mengerti dulu. Terhadap setiap perbuatannya yang sering saya salah artikan. Terhadap laki-laki yang membuat saya akhirnya merasakan apa yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Yang membuat saya dengan mudahnya meneteskan air mata, dengan mudahnya mengeluarkan apa yang saya pendam, dengan mudahnya mengeluarkan sisi saya yang sebenarnya, dengan mudahnya membuat saya merengek, dengan mudahnya membuat saya tertawa, dengan mudahnya membuat rasa kesal saya terlampiaskan, dengan mudahnya membuat saya menjadi diri saya sendiri.

Bersamanya, akhirnya saya tahu, ternyata saya bisa mencintai seseorang hingga seperti ini. Saya merasakan bagaimana rasanya disayang, bagaimana rasanya dilindungi, bagaimana rasanya diperhatikan, bagaimana rasanya menyadari kesalahan saya setelah semuanya diungkapkan olehnya, bagaimana rasanya sakit hati, bagaimana rasanya bingung, bagaimana rasanya khawatir sampai tidak bisa melakukan hal lain, bagaimana rasanya menunggu, bagaimana rasanya ditunggu, bagaimana rasanya diperjuangkan, bagaimana rasanya bahagia.

Selamat 1 tahun, Fathan. Aku berharap dan selalu berdoa akan tahun-tahun selanjutnya dimana kita akan bisa melalui setiap kerikil, dan hubungan yang semakin lebih baik.

I Love You,
Zulfah

Senin, 13 Februari 2017

Pain

When you already giving all your heart to one person, and that person ignoring you, you have nothing less but pain. And it more painful because that person only think that you act too much.

Selasa, 05 Juli 2016

Manusia dan Egonya

Setiap orang pasti memiliki egonya masing-masing, tidak terkecuali, eh, terutama saya.

Dari dulu saya adalah orang yang sok tahu, keras kepala, dan -kalau kata orang sunda- 'keukeuh'. Tindakan-tindakan tersebut hanya akan saya lakukan dan pertahankan untuk hal yang saya yakini benar. Sebenarnya saya berani melakukan tindakan tersebut bukan tanpa alasan. Mungkin, mungkin dulu saya pernah tahu rasanya tidak dipercaya, sehingga saya ingin mendapatkan kepercayaan jika saya bisa. Jika ternyata apa yang saya percaya salah, saya akan mengakuinya dengan lantang.

Saya selalu mempertahankan apa yang saya anggap benar dari sekolah dasar dulu. Kepada siapa pun, kapan pun, masalah apa pun. Untuk hal yang belum saya yakini dengan pasti? Saya tidak akan berani beragumen mengenai hal itu, malah kadang saya lebih memilih untuk tidak memberikan pendapat.

Setelah saya mendengar pendapat seseorang, saya belajar untuk menurunkan ego saya. Orang ini membuat saya berpikir, apa untungnya dari bersikap sok tahu dan lainnya itu? (oke saya akui, saat ternyata apa yang saya yakini benar, saya memang mendapat kepuasan tersendiri) Tetapi orang ini bilang, saya akan jauh lebih puas jika ternyata saya benar dan orang yang sedang beragumen dengan saya salah, kemudian saya akan mengatakan "apa gue bilang?". Saya cukup memberikan pendapat satu kali, setelah itu, biar kebenaran yang menjawabnya. Tidak perlu ngotot. Keuntungannya, jika ternyata saya salah, saya tidak perlu malu atau minta maaf karena toh, saya hanya memberikan argumen di awal. Belum muncul masalah benar atau tidaknya.

Orang ini, ngomong-ngomong sudah sering saya ceritakan sebelumnya. Orang yang dulu tidak jelas maunya apa, kenapa bersikap seperti itu, ternyata punya alasan sendiri dalam setiap tindakan yang diambilnya. Orang ini membuat mimpi saya jadi kenyataan. Orang ini ternyata jauh lebih baik dari yang saya kira.

Terimakasih, Han.


Minggu, 10 April 2016

Cerita

Hai, saat ini saya sedang berada di dalam lab, dengan laptop yang terbuka, menulis entah apa, yang jelas, saya bosan.

Hari ini sebenarnya bukan hari yang buruk. Hanya saja saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa. Yaa, walaupun sebenarnya banyak hal yang harus saya kerjakan, sih. Kadang sering merasa bosan seperti ini. Disaat banyak yang harus dikerjakan, tapi niatnya tidak ada. Lihat saja, kalimat yang sama saya ulang lagi.

Sedikit cerita, saya sedang melaksanakan PKL sekarang. Praktik Kerja Lapangan, ya, bukan Pedagang Kaki Lima. Seminggu lagi saya genap dua bulan PKL. Tidak terasa. Awalnya menganggap waktu tiga bulan adalah waktu yang sangaaat lama. Tapi setelah dijalani, dengan waktu yang tinggal sebulan, proyek yang harus dikerjakan dan tugas wajib alias tugas akhir saya, masih jauh dari kata rampung. Target awal dua bulan harus sudah selesai semua, H-7 hari dari dua bulan, apa yang saya targetkan baru selesai 50%. Waktu terasa sangat cepat sekarang.

Panik? Lumayan. Kadang disaat saya sedang melamun atau diam, dua hal ini pasti terlintas. Kadang stres mendadak karena tidak bisa memecahkan masalah kecil yang harusnya bisa dipikirkan lain waktu. Eh, ya, ngomong-ngomong proyek dan tugas akhir saya ini berhubungan, tugas akhir saya akan membahas proyek saya ini. Temanya? Tentang hal yang pernah saya lakukan di kampus, dan dapat pengalaman menarik di dalamnya. Bukan pengalaman yang begitu baik, tapi apa pun itu, pengalaman pasti mengajarkan kita sesuatu.

Ngomong-ngomong pengalaman, ada satu pengalaman yang memberikan saya pelajaran sangat penting.

Dan saya lupa pengalaman apa yang ingin saya ceritakan ini.

Sebenarnya hari ini sudah hari minggu, tiga puluh tiga jam setelah saya menulis kalimat-kalimat di atas. Saat satu setangah hari lalu sedang asik-asiknya menulis, tiba-tiba ada kesibukan mendadak. Ah, sekarang saya ingat apa pengalaman yang ingin saya ceritakan itu.

Seperti yang sudah banyak teman-teman saya tahu, saya sejujurnya tidak memimpikan jurusan yang saya ambil sekarang. Tapi mengingat perjuangan saya dulu yang gagal, saya mencoba untuk menerimanya. Dulu saya sangat idealis. Waktu SMA tepatnya, saat mulai pemilihan jurusan untuk perguruan tinggi. Impian saya? Bisa dilihat di post saya sebelumnya, yang sudah cukup lama itu. Meskipun orang tua saya tidak menolak, tetapi mereka kurang sreg dengan pilihan saya. Orang tua saya sering menanyakan apa saya yakin dengan pilihan yang saya ambil. Tetapi saya tetap dengan pendirian saya. Berbagai cara saya coba, dan hasilnya, gagal. Seluruh test yang saya ikuti gagal. Sempat frustasi karena tidak tahu harus apa lagi. Akhirnya saran orang tua saya, saya ikuti. Dan mulailah perjalanan saya mempejari ilmu ini.

Pelajarannya, restu orang tua adalah hal yang sangat penting. Itulah mengapa saya sangat berhati-hati sekarang dalam bertindak. Saya pernah merasakan akibat dari melawan kehendak orang tua. Meskipun kadang saya menjalani sisa perkuliahan ini dengan setengah hati, lambat laun saya mulai belajar menerimanya (walaupun sangat sulit), mengubah mind set saya bahwa inilah jalan saya. Mungkin saya akan tetap mengejar cita-cita saya, nanti. Setelah semua ini selesai.

Selasa, 22 Maret 2016

Self Reflection

Setiap orang pasti memiliki kekurangan. Ya, siapa yang sempurna di dunia ini? Kadang kekurangan yang kita miliki dapat menjadi kekuatan kita suatu saat nanti. Kadang bisa juga menjadi bumerang, saat kita menyangka bahwa kelemahan yang dimiliki adalah salah satu kelebihan. Cara mengatasinya? Entahlah. Mungkin cara setiap orang berbeda-beda.

Untuk saya sendiri, kadang saya belajar dengan memperhatikan reaksi orang setelah saya melakukan sesuatu yang saya anggap tidak salah, tetapi dari nada yang dikeluarkannya, saya jadi tahu bahwa saya telah melakukan "kesalahan". Sepele memang, dan kadang saya jadi menganggap apa yang dilakukannya terlalu berlebihan. Padahal sebenarnya tidak. Itu memang hanya pembawaannya saja. Memang orangnya seperti itu. Sama seperti saya ketika melakukan "kesalahan".

Mungkin caranya adalah dengan memahami. Memang orangnya seperti itu. Mungkin bukan keinginannya untuk tidak berubah. Walaupun kata "maklum" tidak akan selamanya bertahan.

Apa yang saya katakan bukan untuk menyindir, atau sok tahu, atau sesuatu semacam itu. Hanya bentuk introspeksi kepada diri sendiri. Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk menjadi pribadi yang kita inginkan. Setiap orang memiliki hidupnya masihng-masing, juga cara menjalani hidup yang berbeda-beda.